Jumat, 28 Agustus 2015

NETRALITAS ASN

Membaca berita di Berau Post tentang adanya oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlibat dalam kegiatan deklarasi salah satu pasangan calon dalam Pilkada Berau tahun 2015  menarik perhatian penulis. Sikap ini sangat bertentangan dalam Undang-undang maupun peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya seorang aparatur sipil negara harus bersikap dalam sebuah pesta demokrasi.
Semua sepakat bahwasannya kehidupan tidak terlepas dari sebuah politik, baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, budaya maupun keamanan, bahkan alangkah berkembangnya perbendaharaan kosakata baru, hingga konsep politik juga bisa diterapkan di sebuah hubungan asmara.
Karena politik itu sendiri memang sebuah sistem, sesuatu yang abstraks yang kemudian diaplikasikan ke kehidupan nyata. Namun belum tentu juga semua sepakat bahwa politik bisa dilakukan dengan cara apapun demi mendapatkan tujuan.
ASN berbeda dengan TNI/POLRI yang memang secara jelas sesuai undang-undang diharuskan netral tanpa hak pilih, sedangkan menurut saya ASN ada di area abu-abu. ASN tegas dilarang menjadi pengurus atau anggota partai politik, tetapi mereka memiliki hak pilih. Oleh karena itu, ASN hampir selalu menjadi sasaran janji-janji partai, janji calon kepala daerah, bahkan calon kepala negara.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang kemudian diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) secara jelas menyatakan: Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.  
“Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.” Demikian penggalan Penjelasan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara diawali dengan dasar politik (keinginan) hukum negara terhadap cita-cita bangsa atas aparaturnya yaitu PNS dan saat ini bernama  ASN. Penjelasan ini menjadi dasar filosofis sekaligus yuridis terhadap keberadaan ASN sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Satu dekade terakhir, dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan semakin maraknya penggunaan jejaring sosial di internet serupa Facebook, Twitter atau sejenisnya, orang perorang dengan mudahnya memaparkan ide, pilihan maupun pendapatnya kepada publik.
Terkait hal tersebut di atas, ASN sebagai abdi negara yang statusnya dijamin dan diatur undang-undang perlu memahami bahwa jejaring sosial adalah bagian dari masyarakat. Karenanya, perlu ada kehati-hatian dalam menyuarakan pendapat khususnya terkait politik dan keberpihakan. 
Dari paparan diatas sudah sepatutnya ASN harus mampu menahan diri dengan tidak terlibat secara langsung terhadap dukung mendukung calon bupati dan wakil bupati tertentu, ASN harus mampu menjaga netralitasnya dalam berpolitik. Setiap ASN memang memiliki hak pilih tetapi biarlah hak pilih tersebut hanya kita salurkan didalam bilik suara nanti tanpa harus terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis. Negara kita adalah negara demokrasi dimana kita semua saat ini sedang belajar berdemokrasi. Marilah kita belajar berdemokrasi yang benar, belajar berdemokrasi yang jujur hingga akhirnya nanti mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin negeri yang berkualitas. Pemimpin yang dicintai rakyat dan mau bekerja untuk rakyat.