Membaca berita di Berau Post tentang adanya oknum Aparatur
Sipil Negara (ASN) yang terlibat dalam kegiatan deklarasi salah satu pasangan
calon dalam Pilkada Berau tahun 2015 menarik perhatian penulis. Sikap ini sangat
bertentangan dalam Undang-undang maupun peraturan yang mengatur bagaimana
seharusnya seorang aparatur sipil negara harus bersikap dalam sebuah pesta
demokrasi.
Semua sepakat
bahwasannya kehidupan tidak terlepas dari sebuah politik, baik itu dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya maupun keamanan, bahkan alangkah berkembangnya
perbendaharaan kosakata baru, hingga konsep politik juga bisa diterapkan di
sebuah hubungan asmara.
Karena politik itu
sendiri memang sebuah sistem, sesuatu yang abstraks yang kemudian diaplikasikan
ke kehidupan nyata. Namun belum tentu juga semua sepakat bahwa politik bisa
dilakukan dengan cara apapun demi mendapatkan tujuan.
ASN berbeda dengan
TNI/POLRI yang memang secara jelas sesuai undang-undang diharuskan netral tanpa
hak pilih, sedangkan menurut saya ASN ada di area abu-abu. ASN tegas dilarang
menjadi pengurus atau anggota partai politik, tetapi mereka memiliki hak pilih.
Oleh karena itu, ASN hampir selalu menjadi sasaran janji-janji partai, janji
calon kepala daerah, bahkan calon kepala negara.
Undang-undang Nomor
8 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian yang kemudian diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (ASN) secara jelas menyatakan: Dalam upaya menjaga netralitas ASN
dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan
persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga
pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik.
Dalam rangka
mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan
ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi
masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan
bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“Dalam upaya menjaga
netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan,
dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga
pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik.” Demikian penggalan Penjelasan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara diawali dengan dasar politik (keinginan) hukum negara
terhadap cita-cita bangsa atas aparaturnya yaitu PNS dan saat ini bernama
ASN. Penjelasan ini menjadi dasar filosofis sekaligus yuridis terhadap
keberadaan ASN sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Satu dekade terakhir, dengan semakin canggihnya teknologi
informasi dan semakin maraknya penggunaan jejaring sosial di internet serupa
Facebook, Twitter atau sejenisnya, orang perorang dengan mudahnya memaparkan
ide, pilihan maupun pendapatnya kepada publik.
Terkait hal tersebut di atas, ASN sebagai abdi negara yang
statusnya dijamin dan diatur undang-undang perlu memahami bahwa jejaring sosial
adalah bagian dari masyarakat. Karenanya, perlu ada kehati-hatian dalam
menyuarakan pendapat khususnya terkait politik dan keberpihakan.
Dari paparan diatas
sudah sepatutnya ASN harus mampu menahan diri dengan tidak terlibat secara
langsung terhadap dukung mendukung calon bupati dan wakil bupati tertentu, ASN
harus mampu menjaga netralitasnya dalam berpolitik. Setiap ASN memang memiliki
hak pilih tetapi biarlah hak pilih tersebut hanya kita salurkan didalam bilik
suara nanti tanpa harus terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis.
Negara kita adalah negara demokrasi dimana kita semua saat ini sedang belajar
berdemokrasi. Marilah kita belajar berdemokrasi yang benar, belajar
berdemokrasi yang jujur hingga akhirnya nanti mampu menghasilkan
pemimpin-pemimpin negeri yang berkualitas. Pemimpin yang dicintai rakyat dan
mau bekerja untuk rakyat.