Wacana kenaikan harga rokok beberapa hari terakhir membuat
para perokok gelisah. Kegelisahan yang wajar karena apabila benar rokok
mengalami kenaikan sampai dengan dua kali lipat bisa jadi mereka tidak akan
bisa lagi menikmati racun rokok yang selama ini menjadi kenikmatan tersediri
bagi perokok.
Sebagai seorang yang hanya pernah mengisap asap rokok dari
hembusan perokok yang berada disekitar penulis mungkin berita kenaikan harga
rokok ini merupakan kado terindah apabila kenaikan harga tersebut benar
terjadi, tapi akan menjadi sebuah cerita horor apabila wacana itu hanya tinggal
sebatas wacana.
Melalui tulisan ini penulsi hanya ingin membeberkan beberapa
fakta yang mnguntungkan apabila harga rokok benar akan dinaikkan. Dari sisi
ekonomi kita perlu melihat harga tembakau di Indonesia, nilai impor tembakau,
jumlah pekerja atau petani tembakau dan jumlah tenaga kerja yang terserap di
industri penghasil asap ini.
Pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok per hari
terkadang melebihi nilai yang diperlukan untuk membeli harga bahan makanan
pokok untuk rumah tangga tersebut. Dalam setiap Survey Sosial Ekonomi Nasional
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dapat dilihat bahwa seringkali
pengeluaran untuk keperluan merokok kepala rumah tangga lebih besar dari nilai
yang diperlukan untuk membeli beras untuk rumah tangga tersebut. Misalnya
seorang Bapak dengan dua anak memerlukan uang sekitar Rp 17.000,- per hari
untuk membeli sebungkus rokok, sementara untuk membeli kebutuhan beras 1
kilogram per hari hanya sekitar Rp 12.000,-. Dari contoh sederhana di atas saja
dapat kita lihat bahwa ada selisih Rp
5.000,- per hari, padahal kerugian dari
jumlah uang tersebut masih ditambah bonus dengan terpaparnya anak dan
istri oleh asap rokok akibat bapat
tersebut yang merokok dirumah.
Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun 2013 menunjukan
angka 41.764.938 Kg atau setara dengan US$ 199.589.221 untuk nilai ekspor
sedangkan nilai impor sebesar 121.218.229 Kg atau sebesar US$ 627.301.457.
Nilai impor tersebut terus trend yang meningkat sejak tahun 2010 dimana pada
tahun tersebut nilai impor sebesar US$ 378.710.000, tahun 2011 US$ 507.188.000,
dan pada tahun 2013 sebesar US$ 627.301.457. Dari data impor ini dapat kita
lihat dengan jelas siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam bisnis tembakau ini,
apakah para petani tembakau atau pengusaha-pengusaha besar penikmat hasil impor
tembakau ?
Petani tembakau juga seharusnya tidak perlu khawatir dengan
kenaikan harga rokok ini karena hasi dari perkebunan tembakau tidak hanya untuk
digunakan pada indsutri rokok tapi juga dapat digunakan pada industri
lain. Tembakau sebenarnya sangat bermanfaat bagi kesehatan bahkan telah lama
menjadi tanaman obat. Kepala Peneliti di Georgetown University, Washington DC,
Dr. Kenneth Dretchen yang melakukan penelitian terhadap virus HPV (Human
Papilloma Virus) yang menjadi penyebab munculnya kanker mulut rahim. Ia
mengembangkan antibodi terhadap HPV dari senyawa yang terkadung dalam tembakau.
Berdasarkan penelitian, tumbuhan tembakau dapat menjadi obat penawar alternatif
karena tembakau mampu menjadi wadah perkembangan genetik virus HPV tersebut
untuk memproduksi sel kuman yang nantinya dapat menjadi antibodi bagi virus
pencetus kanker mulut rahim.
Masalah PHK besar-besaran pun sebenarnya sudah terjadi di
industri rokok walaupun harga rokok belum dinaikkan. Data dari Konfederasi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pada tahun 2015 menyebutkan bahwa telah
terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di Sampoerna sebanyak 12.125 pekerja,
Gudang Garam 6,189 pekerja dan Bentoel sebanyak 1.000 pekerja. Semua ini
dilakukan karena besarnya biaya produksi. Bukan karena nilai jual rokok yang
naik.
Uraian di atas memang hanya sebuah deskripsi sederhana
tentang untung ruginya bagi masyarakat jika harga rokok benar dinaikkan. Tapi
penulis harap tulisan ini dapat menjadi gambaran bagi seluruh lapisan
masyarakat dalam menyikapi wacana kenaikan harga rokok saat ini. Sehingga
kenaikan harga rokok tidak menjadi sebuah cerita horor. Sudah saatnya kita
memang berani berkata bahwa “Saya keren tanpa rokok”.