Cemas, bingung, dan khawatir, itu yang dirasakan oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia ketika berita tentang beras yang mengandung
plastik merebak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa sebagian besar rakyat
Indonesia menjadikan beras atau nasi sebagai bahan pangan pokok mereka. Hal ini
dirasakan oleh penulis sendiri yang merasa belum makan jika belum makan nasi.
Terasa ada yang kurang walaupun perut sudah merasa kenyang jika belum makan
nasi yang berasal dari beras.
Kisruh beras plastik saat ini telah menarik perhatian seluruh
masyarakat di negeri ini. Spektrum isu beras plastik ini telah menjadi
komoditas politik yang dapat mengakibatkan goncangan bagi pemerintah. Hal ini
dapat menimbulkan anggapan peredaran beras plastik menunjukkan lemahnya
pengawasan terhadap perdagangan beras. Kemunculan kisruh dan pendapat seperti
itu dapat dimaklumi karena beras merupakan bahan pangan utama bagi hampir
seluruh masyarakat Indonesia.
Saat ini beragam analisis bermunculan terkait dengan isu
peredaran beras plastik ini. Ditengah kelesuan ekonomi Republik ini muncul berbagai macam dampak negatif akibat adanya
peredaran beras plastik. Hampir setiap hari dapat kita lihat baik itu dimedia
elektronik maupun dimedia cetak berita tentang beras plastik. Obrolan di warung
kopi dipenuhi oleh berita ini, analisis ala penikmat kopi ikut meramaikannya.
Penulis sendiri sebenarnya kebingungan dengan berita yang
merebak dengan sangat dahsyat ini, ada beberapa hal yang perlu kita cermati
dalam kisruh beras plastik ini :
Pertama, plastik yang merupakan turunan hidrokarbon adalah
hidrofobik atau tidak suka air, karena bahan dasanya adalah minyak bumi dan
struktur kimianya nonpolar. Ini berarti jika benar memang ada beras yang
terbuat dari plastik maka walaupun direbus hingga pembalap indonesia ada yang
menjadi juara dunia motoGP, tidak akan menjadi lembek atau menjadi bubur. Beras
bisa menjadi bubur karena menyerap air. Sedangkan plastik tidak menyerap air.
Kedua, harga plastik perkilogram jauh lebih mahal
dibandingkan dengan harga beras, sehingga jika ada yang berpendapat bahwa
campuran plastik didalam beras untuk menambah keuntungan adalah suatu hal yang
salah besar. Terkecuali jika memang ada pedagang yang menghamburkan uangnya
mencampur plastik kedalam beras untuk membuat goyah stabilitas perdagangan,
bukan untuk mencari keuntungan.
Ketiga, hingga saat ini terjadi perbedaan pendapat antar
laboratorium penguji beras plastik. Yang seharusnya jika diambil dari sampel
yang sama maka tidak akan ada perbedaan yang sangat mendasar dari pengujian
laboratorium tersebut. Kita bisa melakukan pengujian sederhana dengan melakukan
uji amilum memakai larutan yodium. Amilum akan memberi warna ungu jika ditetesi
dengan yodium. Apabila beras yang kita tetesi dengan yodium tidak memberi warna
ungu berarti beras tersebut bukan beras asli.
Terlepas dari heboh pemberitaan beras platik diatas penulis
mengambil sisi positif dari pemberitaan tersebut melalui kacamata penulis
selaku seorang statistisi. Berbicara mengenai beras, tentu tidak terlepas dari
keberadaan petani yang telah berjasa menghasilkan padi dari hasil kerja
kerasnya. Data produksi padi Indonesia tahun 2010-2014 yang dirilis Badan Pusat
Statistik memperlihatkan adanya trend yang relatif stabil. Kalaupun terdapat pertumbuhan,
persentasenya kurang dari 10 persen. Bahkan trend 2013-2014, terdapat penurunan
sebesar minus 0,63 persen.
Sejalan dengan trend produksi padi yang relatif stabil,
kesejahteraan petani yang digambarkan melalui angka Nilai Tukar Petani (NTP)
juga tidak banyak mengalami perubahan. NTP merupakan nilai yang diperoleh dari
perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang
dibayar petani. Nilai tukar petani menggambarkan tingkat daya tukar atau daya
beli petani terhadap produk yang dibeli atau dibayar petani yang mencakup
konsumsi dan input produksi yang dibeli. Semakin tinggi nilai tukar petani,
semakin baik daya beli petani terhadap produk konsumsi dan input produksi
tersebut, dan berarti secara relatif lebih sejahtera.
Dilihat dari sudut pandang antara besaran NTP dengan harga
beras dipasaran maka keberadaan beras plastik justru menguntungkan petani
karena konsumen akan memangkas mata rantai perdagangan beras dengan cara
membeli beras langsung dari petani. Ada dua sisi keuntungan dari langkah ini.
Pertama dari sisi petani, ia akan mendapat harga yang lebih baik jika
dibandingkan dengan menjualnya ke tengkulak, sedangkan bagi konsumen, merasa
lebih aman jika membeli langsung karena kecil kemungkinan petani memproduksi
beras plastik.
Ditengah semangat pemerintah kita yang ingin mewujudkan
swasembada pangan di negeri ini, penulis menilai berita ini justru akan
menguntungkan bagi petani. Tapi kebalikannya bagi importir beras. Mungkin sudah
saatnya petani kita memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, sehingga petani yang sejahtera dapat terwujud dan
swasembada pangan dapat kita raih.
Sepertinya berita-berita heboh di masyarakat akan tetap
terjadi kedepannya. Entah apalagi selanjutnya setelah isu beras plastik ini. Bisa
jadi ini adalah strategi politik berisik yang kemungkinan masih merupakan efek dari pemilu
tahun 2014 lalu. Begitu mencengangkan dan mengherankan sebenarnya
fenomena-fenomena ini. Tinggal kita sebagai masyarakat, rakyat dan warga negara
yang harus bersikap tenang menghadapinya. Jangan mudah terpancing isu-isu yang
belum tentu benar apalagi yang tidak benar. Kita harus tetap tenang, gunakan
akal sehat dan cari informasi pembanding dari instansi pemerintah yang resmi
ataupun media yang kredibel dan bertanggungjawab.