Kehidupan ini layaknya matematika yang penuh dengan
perhitungan dan rumus untuk memecahkan segala sesuatunya. Boleh jadi sebagian
dari kita merasa jengah, alergi atau bahkan trauma dengan matematika. Walaupun
beragam pernyataan dapat dilontarkan untuk mencerminkan “ketidakpedulian”
terhadap matematika, namun demikian, manusia selalu menerapkan matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Karena hampir dalam setiap aktivitas sehari-hari entah
disadari atau tidak kita pasti menggunakan Matematika. Mulai dari bangun tidur
hingga menjelang tidur lagi. Dalam keahlian bermatematika kita dituntut untuk
dapat menyelesaikan masalah dengan benar, sekaligus kita diberi kebebasan untuk
menjawab dengan berbagai cara asalkan jawabannya benar dan dengan cara yang benar.
Seperti kata pepatah, “Banyak jalan menuju Roma”. Namun, jika caranya salah
atau salah dalam menuliskan satu angka saja hasil akhirnya juga salah. Disini
kita diminta untuk jujur dalam menyelesaikan masalah yang ada dengan cara yang
benar dan teliti. Karena jika kita menjawab soal matematika dengan tidak jujur,
maka hasilnya? Dapat kita bayangkan sendiri. Dalam belajar Matematika juga
dapat belajar tentang nilai kejujuran
Dalam teori operasional matematika, murid-murid diajarkan
bahwa jika dihadapkan oleh suatu persamaan bilangan urutan tertinggi dalam
operasional adalah perkalian, disusul penjumlahan, kemudian pengurangan dan
terakhir pembagian. Begitupula dengan esensi dan fakta dalam kehidupan manusia
bahwa, manusia lebih cenderung untuk memilih dan mengawali sesuatu dengan
mengalikan jika perlu menambahkan daripada harus mengurangi apalagi harus
membagi, yang mana hal itu merupakan pilihan yang sulit untuk dilakukan oleh
kita sebagai manusia biasa.
Sebagai manusia kita akan dengan mudah menambah, mengurangi
atau mengalikan apa yang kita peroleh, akan tetapi menjadi suatu hal yang berat
dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu ketika mereka harus membagi
apa yang diperolehnya itu. Sudah banyak kita dengar pimpinan yang tidak disukai
oleh anak buahnya karena dia tidak mampu berbagi, pemimpin tersebut hanya mampu
mengurangi apa yang seharusnya diperoleh orang yang dipimpinnya atau berapa
banyak kasus korupsi yang kita baca di media cetak atau kita lihat di TV, ini
semua tidak lain karena mereka hanya mampu mengali, menambah dan mengurangi
tanpa mampu membagi.
Coba kita renungkan pembagian berikut ini, saat 1 ÷ 2 maka
hasilnya ½, 1 ÷ 1 hasilnya 1 tetapi saat kita membagi 1 dengan 0 maka hasilnya
adalah tidak terhingga. Maknanya adalah kalau kita melakukan perbuatan baik,
kemudian kita mengharapkan balasan atas perbuatan itu, maka semakin kita banyak
berharap hasilnya akan semakin kecil. Tetapi ketika kita melakukannya dengan ikhlas,
tanpa mengharapkan sesuatu imbalan apapun, sama dengan 1 ÷ 0, maka hasilnya
akan “Tak Terhingga” yang artinya Allah akan memberikan balasan atas keikhlasan
kita dengan balasan yang tak terhingga.
Sebuah negara jika ingin maju maka hendaklah manusia yang ada
di dalamnya terdidik menjadi manusia matematis. Mulai dari pimpinannya,
sehingga rakyat atau anak buahnya pun pasti akan mencontoh dirinya. Manusia
matematis adalah manusia yang selalu mempertimbangkan baik buruknya suatu
perbuatan. Manusia matematis adalah manusia yang selalu menghitung dengan
sebenar-benarnya tentang setiap perbuatan dan perkataan yang di dalamnya
terdapat kebaikan dan keburukan. Manusia matematis adalah manusia yang selalu
dengan sadar apa yang harus dijumlahkan, dikurangi, dibagikan, dan terkahir dikalikan.
Akhirnya, marilah kita menyadari akan kehidupan kita yang
selalu saja bangga dengan harta, jabatan, dan keindahan rupa kita. Padahal,
belum tentu apa yang kita banggakan tersebut benar-benar mendatangkan
kebanggaan dari Allah, Tuhan yang memberikan kita titipan. Jangan sampai kita
termasuk menjadi manusia yang hanya pandai mengalikan, menambah atau mengurangi
tanpa mampu membagi. Hendaklah kita selalu mencari kesempatan untuk “memberi” bukan
“mengambil”.