Jumat, 19 Februari 2016

Matematika Kehidupan

Kehidupan ini layaknya matematika yang penuh dengan perhitungan dan rumus untuk memecahkan segala sesuatunya. Boleh jadi sebagian dari kita merasa jengah, alergi atau bahkan trauma dengan matematika. Walaupun beragam pernyataan dapat dilontarkan untuk mencerminkan “ketidakpedulian” terhadap matematika, namun demikian, manusia selalu menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Karena hampir dalam setiap aktivitas sehari-hari entah disadari atau tidak kita pasti menggunakan Matematika. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi. Dalam keahlian bermatematika kita dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah dengan benar, sekaligus kita diberi kebebasan untuk menjawab dengan berbagai cara asalkan jawabannya benar dan dengan cara yang benar. Seperti kata pepatah, “Banyak jalan menuju Roma”. Namun, jika caranya salah atau salah dalam menuliskan satu angka saja hasil akhirnya juga salah. Disini kita diminta untuk jujur dalam menyelesaikan masalah yang ada dengan cara yang benar dan teliti. Karena jika kita menjawab soal matematika dengan tidak jujur, maka hasilnya? Dapat kita bayangkan sendiri. Dalam belajar Matematika juga dapat belajar tentang nilai kejujuran
Dalam teori operasional matematika, murid-murid diajarkan bahwa jika dihadapkan oleh suatu persamaan bilangan urutan tertinggi dalam operasional adalah perkalian, disusul penjumlahan, kemudian pengurangan dan terakhir pembagian. Begitupula dengan esensi dan fakta dalam kehidupan manusia bahwa, manusia lebih cenderung untuk memilih dan mengawali sesuatu dengan mengalikan jika perlu menambahkan daripada harus mengurangi apalagi harus membagi, yang mana hal itu merupakan pilihan yang sulit untuk dilakukan oleh kita sebagai manusia biasa.
Sebagai manusia kita akan dengan mudah menambah, mengurangi atau mengalikan apa yang kita peroleh, akan tetapi menjadi suatu hal yang berat dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu ketika mereka harus membagi apa yang diperolehnya itu. Sudah banyak kita dengar pimpinan yang tidak disukai oleh anak buahnya karena dia tidak mampu berbagi, pemimpin tersebut hanya mampu mengurangi apa yang seharusnya diperoleh orang yang dipimpinnya atau berapa banyak kasus korupsi yang kita baca di media cetak atau kita lihat di TV, ini semua tidak lain karena mereka hanya mampu mengali, menambah dan mengurangi tanpa mampu membagi.
Coba kita renungkan pembagian berikut ini, saat 1 ÷ 2 maka hasilnya ½, 1 ÷ 1 hasilnya 1 tetapi saat kita membagi 1 dengan 0 maka hasilnya adalah tidak terhingga. Maknanya adalah kalau kita melakukan perbuatan baik, kemudian kita mengharapkan balasan atas perbuatan itu, maka semakin kita banyak berharap hasilnya akan semakin kecil. Tetapi ketika kita melakukannya dengan ikhlas, tanpa mengharapkan sesuatu imbalan apapun, sama dengan 1 ÷ 0, maka hasilnya akan “Tak Terhingga” yang artinya Allah akan memberikan balasan atas keikhlasan kita dengan balasan yang tak terhingga.
Sebuah negara jika ingin maju maka hendaklah manusia yang ada di dalamnya terdidik menjadi manusia matematis. Mulai dari pimpinannya, sehingga rakyat atau anak buahnya pun pasti akan mencontoh dirinya. Manusia matematis adalah manusia yang selalu mempertimbangkan baik buruknya suatu perbuatan. Manusia matematis adalah manusia yang selalu menghitung dengan sebenar-benarnya tentang setiap perbuatan dan perkataan yang di dalamnya terdapat kebaikan dan keburukan. Manusia matematis adalah manusia yang selalu dengan sadar apa yang harus dijumlahkan, dikurangi, dibagikan, dan terkahir dikalikan.
Akhirnya, marilah kita menyadari akan kehidupan kita yang selalu saja bangga dengan harta, jabatan, dan keindahan rupa kita. Padahal, belum tentu apa yang kita banggakan tersebut benar-benar mendatangkan kebanggaan dari Allah, Tuhan yang memberikan kita titipan. Jangan sampai kita termasuk menjadi manusia yang hanya pandai mengalikan, menambah atau mengurangi tanpa mampu membagi. Hendaklah kita selalu mencari kesempatan untuk “memberi” bukan “mengambil”.