Sabtu, 26 Oktober 2019

KSA BUKANLAH PRODUK MAFIA


Mentari masih malu menampakan diri, mendung yang menggayut membuat cahaya mentari hanya menyapa lembut. Hari ini adalah minggu terakhir di bulan oktober yang berarti pengambilan data amatan Kerangka Sampel Area (KSA) harus segera dilakukan. Pengambilan data KSA sendiri bukanlah hal yang mudah jika medan yang merupakan segmen dari KSA tidak hanya terdiri dari hamparan sawah, terkadang untuk mengambil titik amatan harus berjibaku dengan derasnya aliran sungai, kubangan lumpur, goresan semak belukar serta ancaman dari hewan liar. Sejak awal KSA mulai dilakukan serentak pada tahun 2018 sudah ada beberapa teman petugas KSA yang terluka demi menunaikan tugas negara ini. Tapi luka itu jauh lebih ringan dibandingkan luka yang ditorehkan oleh seorang mantan menteri pertanian yang menyebut bahwa data yang dirilis dari hasil KSA adalah data mafia. Sebuah pendapat kontroversial yang perlu diluruskan karena dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Sebagai metode baru dalam penghitungan produksi padi di negeri tercinta ini tentunya banyak pro dan kontra saat KSA diluncurkan. Akan tetapi pendapat kontra itu terjawab dengan hasil KSA yang secara statistik lebih akurat dibandingkan metode sebelumnya. Perlu perjalanan panjang dalam uji coba hingga diterapkannya KSA dalam penghitungan produksi padi.
Data luas baku lahan sawah yang dikumpulkan dengan metode KSA sudah menggunakan teknologi geospasial. Dibantu dengan citra satelit yang kemudian diverifikasi oleh kementerian ATR/BPN. Dalam penerapan KSA ini BPS juga menggandeng instansi lain yaitu BIG , BPPT dan LAPAN. Metode ini juga merupakan salah satu dari top 45 inovasi terpilih dengan nama “Radar Padi”.
Penggunaan metode KSA yang berbasis teknologi ini diharapkan mampu menghasilkan data produksi yang lebih objektif, akurat dan tepat waktu. Data yang akurat ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan di sektor pertanian. Kebijakan ini terutama terkait dengan kebijakan cadangan beras, impor beras, dan stabilisasi harga beras.  Hal ini sebagai upaya untuk menjaga ketahanan pangan rakyat dan terwujudnya swasembada pangan di Indonesia. 
Menurut data Kementan, produksi gabah tahun 2018 mencapai sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, dengan perkiraan total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton. Dengan demikian, terdapat surplus beras sebesar 13,03 juta ton sepanjang tahun 2018.
Dengan metode KSA, produksi padi untuk tahun 2018 diketahui total lahan baku sawah 71,1 juta hektare, dengan total produksi 56,54 juta ton GKG (setara dengan 32,42 juta ton beras). Setelah dikurangi konsumsi per kapita sebesar 111,58 kg atau setara dengan 29,57 juta ton per tahun maka terdapat surplus 2,85 juta ton. Surplus ini tersebar di 14,1 juta rumah tangga produsen. Sekitar 47 persennya ada stok di penggilingan, stok pedagang dan sebagainya.
Dari data hasil KSA tersebut dapat menjawab dengan terang benderang kenapa setiap tahun selalu ribut impor beras. Kenapa tidak ditemukan tempat penyimpanan beras dengan jumlah stok yang sangat besar padahal setiap akhir tahun diumumkan produksinya surplus. Publik kini mendapatkan jawaban soal kejujuran pasar. Kenapa harga beras naik, kenapa suplai berkurang, kenapa ada operasi pasar, kenapa Pemerintah memutuskan impor beras.
Metode lama dalam penghitungan produksi padi rawan kesalahan. Pertama saat menentukan rencana tanam yang berisi luas lahan dan jenis tanamannya. Kedua saat menentukan hasil produksi. Staf birokrat pada umumnya memilih cara aman dalam menyusun rencana tanam, tidak menghitung pengurangan lahan dan potensi ketersediaan air. Sehingga ajuan subsidi pupuknya setiap tahun cenderung naik. Lebih baik pupuk suplus daripada kurang, sehingga petani tidak marah. Betapa data yang tidak akurat akibat kesalahan metode telah menghamburkan berbagai sumberdaya yang tidak diperlukan.
Pada akhirnya keriuhan kecil tentang beras telah memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya data. Berbagai klaim keberhasilan yang tidak berpijak pada data hanya akan menjadi bom waktu. Klaim tersebut seolah seperti pemanis buatan yang perlahan akan merusak tubuh negara ini. 
Beras juga membuka mata kita bahwa kebijakan Satu Data harus segera diimplementasikan, agar bangsa ini tidak terus terbuai klaim keberhasilan serta hanyut dalam kebingungan. Segenap komponen bangsa harus mendukung BPS agar tetap independen dalam memotret kondisi sebenarnya, serta mendukung program kerja Menteri Pertanian 2019-2024 Syahrul Yasin Limpo yang akan memperbaiki data pangan dalam 100 hari kerja. Menteri pertanian ingin data tersebut mudah dibaca oleh citra satelit dan proses pengambilannya dilakukan dengan melibatkan seluruh lembaga. 
Data KSA bukanlah data mafia, karena Badan Pusat Statistik dalam menyajikan data selalu berpegang teguh kepada independensi dan kejujuran. Biarkan data berbicara apa adanya menyuguhkan berbagai potret kehidupan. Sebab, data itu harus merdeka. Data itu harus satu. Satu data untuk Indonesia.

Senin, 07 Oktober 2019

MENAKAR DEMOKRASI KALTARA


Tahun 2020 kembali Indonesia mengadakan pesta demokrasi secara serentak. Ada         270 daerah yang akan mengikuti perhelatan akbar ini, terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Untuk Kalimantan utara sendiri selain pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur akan ada 4 kabupaten yang akan melaksanakan pesta demokrasi pada tahun 2020 mendatang, yaitu Bulungan, Nunukan, Malinau dan Tana Tidung. Hal ini tentunya membutuhkan kesadaran demokrasi yang tinggi sehingga mampu mensukseskan proses demokrasi di negeri ini. Pentingnya kesadaran berdemokrasi saat ini sejatinya merupakan konsekuensi logis bahwa Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat atau beropini, baik secara lisan maupun tulisan.
Keriuhan yang terjadi belakangan ini tidak bisa diselesaikan dengan mengurangi kebebasan dasar yang menjadi fondasi tegaknya demokrasi. Yang perlu dilakukan justru memperluas kebebasan dengan menjamin hak setiap warga untuk tidak diperlakukan semena-mena oleh orang lain atas dasar apapun. Serunya jargon politisi sentoloyo maupun politik genderuwo yang mewarnai percaturan politik negeri ini hendaknya tetap membawa arah kepada demokrasi yang sebenarnya, hingga demokrasi itu sendiri tidak kehilangan makna.
Membicarakan soal kebebasan perpendapat, tentunya menjadi salah satu indikator maju atau mundurnya nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Kalimantan Utara tahun 2018 sebesar 81,07 dalam skala indeks 0 sampai 100. Angka ini mengalami peningkatan 0,01 poin dibandingkan dengan IDI Kalimantan Utara 2017 yang capaiannya sebesar 81,06. Dengan peningkatan ini kategori demokrasi di Kalimantan Utara berada dalam kategori “baik”. Pergeseran angka IDI ini menjadi cerminan dinamika demokrasi di Kalimantan Utara. Sebagai alat ukur, IDI memang dirancang untuk sensitif terhadap kondisi demokrasi. Indeks demokrasi Kalimantan Utara menempati posisi terbaik keempat se Indonesia setelah DKI Jakarta, Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Pada tahun 2018, terdapat dua aspek yang mengalami penurunan dan satu aspek mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2017. Dalam tiga aspek demokrasi yang diukur pada tahun 2018, indeks Kebebasan sipil dan Lembaga Demokrasi mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,21 poin dan 9,98 poin dibandingkan tahun 2017. Sementara itu, nilai indeks aspek Kebebasan sipil mengalami kenaikan 7,26 poin.
Dari 28 indikator penyusun IDI  terdapat 6 (enam) indikator yang masih perlu mendapat perhatian khusus dari semua pihak agar nilainya dapat membaik antara lain adalah masih ditemukan ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat, persentase perempuan yang terpilih terhadap total anggota DPRD Provinsi, demonstrasi/mogok yang bersifat kekerasan, Perda yang merupakan insiatif DPRD, rekomendasi DPRD kepada ekskutif dan upaya penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah.
Pembangunan demokrasi dan politik merupakan hal yang penting dan terus diupayakan oleh pemerintah. Namun, untuk mengukur pencapaiannya baik di tingkat daerah maupun pusat bukan suatu hal yang mudah. Pembangunan demokrasi memerlukan data empirik untuk dapat dijadikan landasan pengambilan kebijakan dan perumusan strategi yang spesifik dan akurat. Untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan demokrasi politik di Indonesia sejak tahun 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) bersama stakeholder lain seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (KEMENKOPOLHUKAM), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI) merumuskan pengukuran IDI. IDI dapat mengukur pencapaian pembangunan demokrasi dan politik, baik di tingkat daerah maupun pusat.
Sebagai gambaran perkembangan demokrasi politik di Indonesia, IDI menjelma sebagai data empirik untuk dapat menjadi landasan pengambilan kebijakan dan perumusan strategi yang spesifik dan akurat. Data-data yang disampaikan oleh IDI berguna bagi pemerintah daerah provinsi dan masyarakatnya untuk mengevaluasi diri sendiri dalam melaksanakan demokrasi dan melakukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan demokrasi. Terdapat tiga aspek demokrasi yang digunakan untuk mengukur tingkat capaian berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan demokrasi itu sendiri, diantaranya Kebebasan Sipil (Civil Liberty), Hak-Hak Politik (Political Rights), dan Lembaga-Lembaga Demokrasi (Institution of Democracy).
IDI bertujuan untuk mengukur secara kuantitatif tingkat perkembangan demokrasi. Dari
indeks tersebut akan terlihat perkembangan demokrasi sesuai dengan ketiga aspek yang diukur. IDI tidak hanya melihat gambaran demokrasi yang berasal dari sisi kinerja pemerintah/birokrasi saja. Namun juga melihat perkembangan demokrasi dari aspek peran masyarakat, lembaga legislatif (DPRD), partai politik, lembaga peradilan dan penegak hukum. Oleh karena itu, perkembangan IDI merupakan tanggung jawab bersama semua stakeholder, tidak hanya pemerintah saja.  
Angka IDI yang terus meningkat diharapkan menjadi sebuah barometer kualitas publik yang ikut serta dalam proses demokrasi di kalimantan Utara. Bisa jadi kedepannya, proses demokrasi yang baik, lancar dan penuh keamanan dan keadilan akan mampu berimplikasi positif terhadap perekonomian yang ujungnya adalah meningkatkan citra Indonesia sekaligus mengkondusifkan iklim investasi dalam negeri agar dapat mendongkrak stabilitas ekonomi di bumi Kalimantan Utara.

Sabtu, 25 Mei 2019

SARING SEBELUM SHARING


Pengguna media sosial (medsos) baru saja dibuat gelisah dengan pembatasan penggunaan oleh pemerintah. Semua lapisan berkeluh kesah, penggemar update status banyak yang merasa kecewa karena status yang diupload akhirnya tidak dapat dilihat oleh teman-temannya karena adanya pembatasan. Pedagang online via media sosial sepeti instagram dan facebook juga mengeluh karena omzet turun drastis beberapa hari ini. Whatsapp group mendadak sepi karena konten gambar dan video sulit untuk diupload maupun didownload. Sebuah petaka besar bagi aktivis media sosial, ibarat hidup menjadi kering tanpa siraman konten yang biasa dilihat dan dikomentari.
Media sosial benar-benar telah membuka mata kita. Membuka mata untuk tahu apa yang terjadi di luar jarak pandang kita. Kita pun tak perlu lagi mengeluarkan uang lagi untuk membeli surat kabar dan majalah untuk melek informasi. Sekarang, saat kita bangun tidur, kita sudah bisa membuka smartphone kita dan membaca kabar berita di website dan halaman medsos.
Selama ini internet telah menjadi sarana informasi yang bebas nilai, ada banyak oknum-oknum tertentu yang justru menjadikannya sebagai alat kejahatan untuk memprovokasi atau mengadu-domba para pengguna medsos, itu dapat ditemukan pada aplikasi facebook, twitter, instagram dan lainnya yang menjadi primadona dalam bertukar berita atau informasi. Pertumbuhan penetrasi smartphone dan media sosial yang tidak diimbangi literasi digital menyebabkan berita palsu alias hoax merajalela di Indonesia. Hal ini menimbulkan suatu polemik baru, informasi benar dan salah menjadi campur aduk.
Ibarat dua sisi mata pisau, begitu juga peran media, yang seringkali bisa membawa manfaat, sekaligus membawa mudarat. Orang yang baru bermain media atau belum berpengalaman dalam memilah mana media yang benar atau salah, akan sangat mudah terkena virus hoax. Dia akan sering membagi informasi yang belum tentu kebenarannya di media sosial, terutama grup Whatsapp yang diikutinya.
Hoax adalah berita palsu atau bohong. Hoax merupakan penyelewangan berita dari konteks aslinya untuk tujuan tertentu. Biasanya untuk meraih keuntungan dari kunjungan orang ke situsnya. Agar terlihat menarik, pencipta berita hoax akan mencatut sumber-sumber yang katanya valid dari pemerintah atau dari lembaga manapun, agar mengundang kesan terpercaya.
Akibat yang ditumbulkan berita hoax salah satunya yaitu mudah tersulutnya emosi masyarakat. Dampak tersebut nyatanya benar-benar terjadi di masyarakat, dimana mereka mempercayai isu-isu hoax yang tersebar sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain yang dianggap sebagai objek dari isu tersebut.
Masyarakat diharapkan cerdas menggunakan sosial media, melakukan telaah terhadap berita atau informasi yang sedang dilihat, apakah hal tersebut bernuansa negatif atau positif setidaknya hal itu menjadi dasar utama untuk diketahui sebelum mensharing informasi kepada pengguna sosial media lainnya. Saat ini sudah ada UU ITE Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik yang berisi setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Kita takkan kenal putih jika tak tahu apa itu hitam, bagaimana kita sebut itu terang jika definisi gelap masih menjadi perdebatan. Hendaknya kita melakukan saring dulu sebelum mensharing berita, lakukan validasi bahkan revalidasi sebelum jempol kita menekan tombol share. Jangan merasa bangga menjadi nomer satu karena menjadi yang pertama menyampaikan berita tetapi berita yang disampaikan belum teruji kebenarannya. Pastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian menyebarkannya. Media massa juga hendaknya tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun berafiliasi dengan kepentingan tertentu.
Tingkatkan literasi media dan literasi media sosial agar kita menjadi netizen yang bijak dan membawa kedamaian di negeri ini.

Selasa, 05 Februari 2019

DARI DESA UNTUK KALTIM BAGI INDONESIA


"Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa" (Bung Hatta).
Membangun Desa dari Pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan Desa dalam kerangka negara kesatuan adalah salah satu point Nawacita Presiden Jokowi. Lahirnya Undang-Undang Desa   Nomor 6 Tahun 2014 disambut sangat baik oleh seluruh kalangan baik aparat pemerintah pusat maupun daerah serta masyarakat.
Pengembangan wilayah pedesaan sangat penting, karena struktur ekonomi pedesaan berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan struktur perkotaan. Sehingga bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan pembangunan di pedesaan sekaligus upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk mencapai keserasian/kesamaan dengan wilayah kota adalah pekerjaan rumah yang perlu segera dijawab.
Realitas pembangunan wilayah pedesaan dan perkotaan yang tidak seimbang sebagaimana selama ini terjadi dan menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam kehidupan. Di mana desa yang lebih berkesan sebagai kelompok masyarakat yang hidup secara tradisional, mempunyai banyak ketertinggalan dibanding dengan kota, bisa diperkecil disparitasnya.
Tujuan utama “desa membangun” yang diamanatkan dalam desentralisasi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat desa, termasuk didalamnya adalah mengurangi kemiskinan yang selalu menjadi isu hangat di pemerintahan. Visi dan keyakinan seorang kepala desa harus mengarah kepada penanggulangan kemiskinan dan mencapai kesejahteraan rakyat desa.
Pengelolan potensi desa secara efektif menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi setiap daerah. Tantangan ini harus dihadapi dan diselesaikan oleh Pemerintah bersama masyarakat. Apabila seluruh potensi desa mampu dikelola dengan baik, maka paradigma desa membangun akan menuai kesuksesan.
Menurut hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2018, di Provinsi Kalimantan Timur terdapat sebanyak 1.038 desa/kelurahan, 103 kecamatan, dan 10 Kabupaten/kota. Terdapat 5 desa di 2 pulau kecil terluar yang seluruhnya terletak di Kabupaten Berau. Dua Pulau terluar yaitu Pulau Sambit dan Pulau Maratua yang meliputi 5 desa.
Salah satu hasil dari pendataan Podes 2018 adalah Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang menunjukan tingkat perkembangan desa dengan kategori mandiri, berkembang dan tertinggal. Semakin tinggi IPD menunjukan semakin mandiri desa tersebut. Indeks Pembangunan Desa ini hanya dihitung pada wilayah administrasi setingkat desa yang berstatus pemerintahan “desa”.
Di Kalimantan Timur Jumlah desa kategori mandiri pada tahun 2018 sebanyak 38 desa (4,55%) meningkat dibandingkan tahun 2014 yang berjumlah 20 desa (2,40%). Demikian juga dengan desa berkembang meningkat dari 618 desa (74,01%) pada tahun 2014 menjadi 679 desa (81,32%) pada tahun 2018. Sedangkan desa tertinggal mengalami penurunan dimana pada tahun 2014 terdapat 197 desa tertinggal (23,59%) menjadi 118 desa (14,13%) di tahun 2018.
 Indeks Pembangunan Desa disusun dari 5 dimensi, yang terdiri dari 42 indikator. Kelima dimensi penyusun Indeks Pembangunan Desa (IPD) adalah pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, transportasi, pelayanan umum dan penyelenggaraan pemerintah desa. Secara umum, semua dimensi penyusun IPD mengalami kenaikan. Dimensi dengan kenaikan tertinggi adalah Penyelenggaraan Pemerintah Desa, yaitu sebesar 7,27 poin dari 63,33 pada tahun 2014 menjadi 70,59 di tahun 2018. Sementara dimensi dengan kenaikan terkecil adalah Transportasi yang pada tahun 2014 sebesar 67,66 mengalami kenaikan menjadi 68,65 atau sebesar 0,99 poin.
Berbagai kelemahan yang masih muncul seharusnya terus diupayakan untuk diperbaiki dengan cara meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat, memperkuat kelembagaan partisipasi, melakukan transparansi dan inovasi kebijakan. Pelaksanaan pemerintah desa merupakan cerminan dari membuminya demokrasi dalam pemerintahan. Jika diibaratkan sebagai komoditi, maka pemerintah desa adalah etalase dari komoditi tersebut. Atau dengan kata lain kualitas pelaksanaan demokrasi pemerintah nasional sebenarnya dapat dilihat dari praktek demokrasi di pemerintah desa.
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat desa harus kuat sehingga terjadi relasi yang positif antara pemerintahan desa dan masyarakatnya. Terciptanya desa kuat dan masyarakat yang kuat merupakan salah faktor penting dalam upaya mempertahankan keutuhan dan kekuatan NKRI.
Mari kita berdayakan kehidupan desa kita, kita nyalakan ribuan lilin didesa untuk menerangi negeri ini, mengembangkan potensi besar desa untuk kemajuan Kalimantan Timur dan kejayaan Indonesia.