Sabtu, 28 Januari 2017

UTAK-ATIK DATA

Menyaksikan acara di salah satu televisi swasta beberapa waktu lalu harus diakui melukai dan membuat sakit hati saya selaku insan BPS (Badan Pusat Statistik). Tudingan bahwa data telah diutak-atik demi kepentingan tertentu membuat saya selaku juru potret data merasa miris. Dimana kredibilitas BPS selaku penyedia data statistik dipertanyakan. Sakit memang, tapi kritik memang harus diambil hikmahnya. Berusaha memperbaiki diri serta menjelaskan kepada khalayak luas bagaimana sebenarnya menghasilkan sebuah data yang berkualitas.
Untuk menyediakan statistik yang berkualitas bagi pembangunan bangsa, BPS melakukan pengumpulan data melalui berbagai sensus dan survei. Sensus dilakukan dengan mencacah semua unit populasi di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk memperoleh karakteristik populasi pada saat tertentu. Sedangkan survei dilakukan dengan mencacah sampel untuk memperkirakan karakteristik populasi. Dari berbagi sensus dan survei inilah kemudian dihasilkan data-data seperti jumlah penduduk dan karakteristiknya, tingkat pengangguran, inflasi, pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin, dan lain sebagainya.
Dalam pelaksanaan pengumpulan data BPS lebih banyak melakukannya melalui survei ketimbang sensus. Hal ini dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan untuk sensus sangat mahal bila dibandingkan dengan survei yang hanya mencacah sebagian unit populasi. Sensus penduduk, Sensus Pertanian dan Sensus Ekonomi menghabiskan biaya triliunan rupiah. Itulah sebabnya, kenapa sensus hanya dilakukan 10 tahun sekali berdasarkan rekomendasi PBB. Harus diakui bahwa pengumpulan data melalui survei menghasilkan data yang terbatas, tetapi BPS berusaha memaksimalkan penggunaannya.
Dalam menyelenggarkan kegiatan statistik, BPS sadar bahwa data yang dihasilkan akan menentukan arah pembangunan negara ini. Oleh karena itu sebagai warga negara yang mencintai bangsa dan negaranya, segenap statistisi BPS berusaha semaksimal mungkin mempersembahkan data yang akurat.  Ketika melakukan kegiatan statistik harus selalu patuh pada prinsip-prinsip ilmiah (kaidah ilmu statistik) dan senantiasa menjadikan kejujuran diatas segalanya. Tugas kami hanya memotret kondisi yang ada dan menyajikannya tanpa polesan untuk mempercantik. Merekayasa data pantang buat segenap insan BPS.
Dimanapun kita tidak akan mendapatkan satupun sensus atau survei yang benar-benar sempurna, bebas dari kesalahan dan kekurangan. Oleh Karena itu, para pengguna data seharusnya sadar bahwa data statistik pada dasarnya hanyalah sebuah perkiraan yang diupayakan sebisa mungkin tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperkirakan melalui penerapan seperangkat metode ilmiah, bukan sebuah kebenaran absolut yang tidak mengandung kesalahan. Ada dua jenis kesalahan (error) yang sudah pasti terjadi dalam setiap kegiatan statistik, yakni sampling error dan non sampling error. Dua hal ini sangat penting untuk dipahami oleh pengguna data. Sampling error adalah kesalahan yang hanya terjadi ketika kita melakukan pengumpulan data lewat suatu survei. Kesalahan ini muncul karena kita hanya mencacah (mendata) sebagian populasi untuk mengestimasi atau memperkirakan karakteristik populasi. Yang namanya perkiraan, sudah pasti tidak ada yang tepat 100 persen. Kesalahan akan selalu ada. Sampling error dapat ditekan melalui penggunaan teknik penarikan sampel yang tepat dan memperbesar ukuran sampel. Untuk yang terakhir ini dibutuhkan tambahan biaya. 
Sementara itu, non sampling error adalah kesalahan yang berhubungan dengan teknis pengumpulan data di lapangan, sumbernya bisa dari pencacah (pengumpul data) dan atau responden (sumber data). Contoh non sampling error yang kerap kali terjadi adalah responden tidak terdata atau lewat cacah, serta isian kuesioner yang salah karena kelalaian petugas atau jawaban responden yang tidak benar. Hal ini juga masih ditambah dengan keengganan responden dalam menerima petugas pendata dan menjawab isian dari kuesioner dalam kegiatan survei maupun sensus.
Kalaupun kualitas data BPS yang ada sekarang belum sepenuhnya sesuai dengan harapan publik, maka hendaknya jangan hanya BPS yang disalahkan, karena pihak lain sedikit banyak juga memiliki andil didalamnya. Untuk itu, saya berharap semua pihak mau bekerjasama dengan baik ketika menjadi responden pada setiap sensus dan survei yang dilaksanakan oleh BPS demi terwujudnya statistik berkualitas untuk pembangunan bangsa. Sehingga tudingan mengutak-atik data demi kepentingan golongan tidak akan pernah ada disetiap benak pengguna data.

Sabtu, 07 Januari 2017

TANTANGAN PENYAJIAN DATA

Dekade ini ketika melihat data semua orang akan terpusat pada BPS (Badan Pusat Statistik) sebagai leading sector. Tentu saja betul, karena BPS merupakan instansi pemerintah yang dibentuk untuk menjalankan mandat Undang-Undang, yang diatur dalam UU No 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Dalam UU tersebut, jelas bukan hanya BPS satu-satunya lembaga yang diakui oleh Negara sebagai lembaga yang konsen dalam menangani kegiatan statistik, bisa perorangan ataupun swasta. Namun, BPS merupakan leading sector bagi pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan datanya.
Berkembangnya wacana “satu data” memang mengundang banyak pendapat. Apakah BPS mampu dan siap sebagai penyedia satu-satunya data. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Statistik kita sudah tahu ada tiga jenis statistik yang diatur didalamnya, Statistik Dasar, Statistik Sektoral dan Statistik Khusus. Aturan inilah yang harus menjadi bahan acuan, bukan hanya BPS sebagai penyelenggara perstatistikan nasional saja, namun juga harus dimengerti oleh pemerintah sebagai stakeholder dan terinformasikan ke masyarakat.
Statistik dasar tidak hanya tiga sensus besar yang dilakukan serentak secara nasional, namun juga terdiri dari berbagai survei besar berskala nasinal yang diselenggarakan BPS. Terbayang banyaknya data yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Yang sudah seharusnya menjadi perhatian bagi stakeholder agar dapat mendiseminasikan data statistik tersebut.
Statistik sektoral diselenggarakan oleh instansi pemerintah sesuai lingkup tugas dan fungsinya, dapat dilakukan secara mandiri atau bersama BPS. Kebutuhan data sektoral memang mutlak datang dari instansi terkait, namun tetap dikoordinasikan dengan BPS sebagaimana yang diamanahkan oleh UU no. 16 tahun 1997.
Dari kualitas data, BPS tidak hanya dituntut untuk menyajikan data yang akurat, relevan, akuntable dan terbaru saja, namun varian data yang mencakup berbagai bidang dan spesifik menjadi demand yang tidak akan mudah dipenuhi. Hal ini menuntut kerja keras bagi segenap aparatur BPS. Semangat menyajikan data terbaik harus selalu berkobar, walau kita tahu untuk mengumpulkan data dilapangan bukanlah suatu hal yang mudah. Kesukaran dalam pengumpulan data sangat beragam, dari medan yang sulit, penolakan dari responden sampai kepada akomodasi yang sangat terbatas dalam melaksanakan tugas pencacahan. Sebagai contoh saja saat pelaksanaan Sensus Ekonomi tahun 2016 kemarin masih ada perusahaan besar yang berada di bumi battiwakal ini tidak memberikan datanya. Tidak hanya sekali dua petugas sensus datang berkunjung untuk memperoleh data yang diperlukan, tetapi petugas selalu terbentur dengan regulasi yang dimiliki oleh perusahaan. Harapan disegenap petugas BPS agar UU tentang statistik bukanlah UU macan ompong yang tidak mampu menjerat pengusaha maupun perusahaan serta responden yang tidak mau memberikan datanya demi kepentingan pembangunan negeri ini.
Selain pengumpulan data, pelayanan publik juga menjadi perhatian serius di tahun yang baru ini. Keluhan agak sulitnya mendapat data BPS menjadi permasalahan klasik yang selalu menjadi langganan masukan dari pengguna data. Website BPS hingga saat ini sudah cukup mumpuni, hal ini dibuktikan dengan dipredikatkan sebagai salah satu Top 99 Inovasi Pelayanan Publik yang dikeluarkan Kementrian PAN dan RB, namun apa artinya jika website yang lengkap berisi data strategis itu tidak tersosialisasikan dengan baik. Ditahun 2017 ini nampaknya sosialisasi lewat tatap muka langsung dengan pengguna data merupakan cara terbaik untuk mensosialisasikan data BPS. 
Kobarkan terus semangat pejuang data, jangan pernah surut langkahmu. Kita implementasikan semangat profesinalisme, integritas dan amanah dalam setiap langkah. Mari kita cerdaskan negeri ini dengan data. Membangun data itu memang mahal tapi akan jauh lebih mahal membangun tanpa data.