Dinas Sosial Kabupaten Berau baru-baru ini merilis bahwa
angka kemiskinan di Kabupaten ini mengalami penurunan dari tahun 2014 yang
berjumlah 4.426 Kepala Keluarga menjadi
3.657 Kepala Keluarga pada tahun 2015. Sementara Badan Pusat Statistik merilis
angka kemiskinan di Kabupaten Berau pada tahun 2014 sebesar 9.770 rumah tangga
atau 4,76%, angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2013 sebesar
10.200 rumah tangga atau 5,25%. Melihat
angka ini sepatutnya kita merasa gembira karena itu berarti pembangunan yang
berlangsung di Kabupaten Berau berhasil dalam artian perekonomian membaik
sehngga jumlah penduduk miskin berkurang, walaupun sebenarnya perlu kita telaah
lebih lanjut mengingat ketersediaan lapangan pekerjaan di Kabupaten Berau yang
semakin berkurang seiring dengan lesunya gairah dunia pertambangan di Berau.
Pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan
(RAPBN-P) 2015, Kemensos menyediakan tambahan atau buffer 500 ribu rumah tangga
sasaran (RTS) dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) sebanyak 1,7
juta jiwa. Tambahan anggaran yang diminta mencapai Rp 6,7 triliun. Hal itu dilakukan karena masih ditemukan
inclusion error dan exclusion error penerima manfaat perlindungan sosial dari
kartu keluarga sejahtera (KKS), kartu Indonesia pintar (KIP), dan kartu
Indonesia sehat (KIS). Kita harus mengapresiasi usaha-saha itu. Namun adanya
sejumlah program yang belum tepat sasaran menjadi beberapa faktor yang
menyebabkan pengentasan kemiskinan menjadi hal yang tidak mudah. Ditambah lagi
dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang masih
sebesar 4,67 persen sangat
mempengaruhi ekonomi domestik, terutama sektor konsumsi rumah tangga yang hanya
tumbuh 4,9 persen. Padahal konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar
terhadap pertumbuhan.
Pengukuran kemiskinan bukanlah perkara yang mudah. Pasalnya,
kemiskinan bersifat multi dimensi, dinamis, dan sangat kualitatif. Karena itu,
hingga kini, tak ada satupun metode yang betul-betul sempurna dalam memotret
kemiskinan.
Di Indonesia, perhitungan jumlah penduduk miskin menggunakan
pendekatan moneter. Artinya, pengukuran kemiskinan didekati dari sisi
pendapatan/pengeluaran.Dalam prakteknya, BPS menghitung garis kemiskinan, yang
secara sederhana dapat dimaknai sebagai jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan
seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Penduduk dengan pengeluaran per
bulan di bawah garis kemiskinan selanjutnya disebut miskin. Sementara itu,
terminologi penduduk hampir miskin (near poor) merujuk pada mereka yang tidak
termasuk miskin tapi sangat rentan untuk jatuh miskin. Karena, pengeluaran
mereka dalam sebulan hanya berselisih tipis dengan garis kemiskinan. Kondisi
ini mengakibatkan, penduduk miskin dan hampir miskin seringkali sulit dibedakan
dalam kahidupan sehari-hari. Secara kuantitatif, penduduk hampir miskin umumnya
merujuk pada mereka yang memiliki pengeluaran 100-150 persen garis kemiskinan.
Artinya, jika garis kemiskinan saat ini sebesar Rp 350 ribu per bulan, penduduk hampir
miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan antara Rp 350 ribu – Rp 525 ribu.
Pertumbuhan ekonomi, kenyataannya, lebih menguntungkan
penduduk kelas menengah dan kaya karena lebih digerakkan oleh sektor jasa (non
tradable) ketimbang sektor riil (tradable). pertumbuhan ekonomi kian jauh dari
semangat pro-poor. Karena faktanya, pertumbuhan yang terjadi memiliki
sensitifitas yang lemah terhadap penurunan kemiskinan.
Kaum miskin tidak salah, tetapi masyarakat (kita) tidak
pernah memberi mereka lingkungan yang tepat untuk tumbuh. Yang kita perlukan
untuk membuat penduduk miskin terbebaskan dari kemiskinan adalah menciptakan
sebuah lingkungan yang memungkinkan mereka berkembang dengan baik. Begitu
mereka mampu memanfaatkan potensi, energi dan kreativitas mereka, kemiskinan
akan segera terbebaskan.