Senin, 28 Maret 2016

KEMISKINAN

Dinas Sosial Kabupaten Berau baru-baru ini merilis bahwa angka kemiskinan di Kabupaten ini mengalami penurunan dari tahun 2014 yang berjumlah 4.426 Kepala Keluarga  menjadi 3.657 Kepala Keluarga pada tahun 2015. Sementara Badan Pusat Statistik merilis angka kemiskinan di Kabupaten Berau pada tahun 2014 sebesar 9.770 rumah tangga atau 4,76%, angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2013 sebesar 10.200 rumah tangga atau 5,25%.  Melihat angka ini sepatutnya kita merasa gembira karena itu berarti pembangunan yang berlangsung di Kabupaten Berau berhasil dalam artian perekonomian membaik sehngga jumlah penduduk miskin berkurang, walaupun sebenarnya perlu kita telaah lebih lanjut mengingat ketersediaan lapangan pekerjaan di Kabupaten Berau yang semakin berkurang seiring dengan lesunya gairah dunia pertambangan di Berau.
Pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, Kemensos menyediakan tambahan atau buffer 500 ribu rumah tangga sasaran (RTS) dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) sebanyak 1,7 juta jiwa. Tambahan anggaran yang diminta mencapai Rp 6,7 triliun.  Hal itu dilakukan karena masih ditemukan inclusion error dan exclusion error penerima manfaat perlindungan sosial dari kartu keluarga sejahtera (KKS), kartu Indonesia pintar (KIP), dan kartu Indonesia sehat (KIS). Kita harus mengapresiasi usaha-saha itu. Namun adanya sejumlah program yang belum tepat sasaran menjadi beberapa faktor yang menyebabkan pengentasan kemiskinan menjadi hal yang tidak mudah. Ditambah lagi dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang masih  sebesar 4,67 persen  sangat mempengaruhi ekonomi domestik, terutama sektor konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,9 persen. Padahal konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar terhadap pertumbuhan.
Pengukuran kemiskinan bukanlah perkara yang mudah. Pasalnya, kemiskinan bersifat multi dimensi, dinamis, dan sangat kualitatif. Karena itu, hingga kini, tak ada satupun metode yang betul-betul sempurna dalam memotret kemiskinan.
Di Indonesia, perhitungan jumlah penduduk miskin menggunakan pendekatan moneter. Artinya, pengukuran kemiskinan didekati dari sisi pendapatan/pengeluaran.Dalam prakteknya, BPS menghitung garis kemiskinan, yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Penduduk dengan pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan selanjutnya disebut miskin. Sementara itu, terminologi penduduk hampir miskin (near poor) merujuk pada mereka yang tidak termasuk miskin tapi sangat rentan untuk jatuh miskin. Karena, pengeluaran mereka dalam sebulan hanya berselisih tipis dengan garis kemiskinan. Kondisi ini mengakibatkan, penduduk miskin dan hampir miskin seringkali sulit dibedakan dalam kahidupan sehari-hari. Secara kuantitatif, penduduk hampir miskin umumnya merujuk pada mereka yang memiliki pengeluaran 100-150 persen garis kemiskinan. Artinya, jika garis kemiskinan saat ini sebesar Rp 350 ribu per bulan, penduduk hampir miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan antara Rp 350 ribu – Rp 525 ribu.
Pertumbuhan ekonomi, kenyataannya, lebih menguntungkan penduduk kelas menengah dan kaya karena lebih digerakkan oleh sektor jasa (non tradable) ketimbang sektor riil (tradable). pertumbuhan ekonomi kian jauh dari semangat pro-poor. Karena faktanya, pertumbuhan yang terjadi memiliki sensitifitas yang lemah terhadap penurunan kemiskinan.
Kaum miskin tidak salah, tetapi masyarakat (kita) tidak pernah memberi mereka lingkungan yang tepat untuk tumbuh. Yang kita perlukan untuk membuat penduduk miskin terbebaskan dari kemiskinan adalah menciptakan sebuah lingkungan yang memungkinkan mereka berkembang dengan baik. Begitu mereka mampu memanfaatkan potensi, energi dan kreativitas mereka, kemiskinan akan segera terbebaskan.

Rabu, 23 Maret 2016

MENJADI RESPONDEN KOOPERATIF

Gaung Sensus Ekonomi 2016 semakin terasa, berbagai macam spanduk, baliho, leaflet dan berbagai media sosialisasi lainnya telah gencar mewartakan kegiatan SE2016 tersebut. Kegiatan besar sepuluh tahun sekali ini secara tidak langsung juga menguras segenap energi yang ada pada seluruh pegawai Badan Pusat Statistik Kabupaten Berau. Bulan Mei 2016 nanti seluruh petugas SE2016 akan turun kelapangan untuk memperoleh data yang akurat.
Menjadi ujung tombak Sebagai institusi pemerintah yang diamanahi tugas memotret sejarah pembangunan negeri ini dengan data, Badan Pusat Statistik (BPS) secara konsisten menyajikan berbagai rupa data statistik untuk memuaskan kebutuhan pengguna data,  pemerintah dan publik secara luas. Data-data tersebut dihasilkan melalui sejumlah kegiatan statistik, baik sensus maupun survei. Karena yang hendak dipotret adalah gambaran tentang Indonesia yang maha luas, kegiatan statistik, sensus maupun survei bukan merupakan pekerjaan yang enteng dan remeh. Rangkaian kegiatan mulia dari perencanaan, pengumpulan data di lapangan, pengolahan, hingga data siap tersaji sebagai statistik resmi (official statistics) di ruang publik sangat menguras tenaga dan pikiran. Bayangkan, betapa lelahnya jika Anda diminta mengumpulkan data mengenai pola konsumsi ratusan sampel rumah tangga melalui proses wawancara yang menghabiskan waktu tak kurang dari dua setengah jam dengan berbekal kuesioner yang berisi lebih dari 300 item pertanyaan. Atau, bila Anda diminta mengumpulkan keterangan demografi dari sekitar 60 ribu lebih rumah tangga yang tersebar di seluruh Kabupaten Berau. Tentu bukan pekerjaan yang ringan. Di pundak para petugas statistiklah kesuksesan setiap kegiatan pengumpulan data disandarkan.
Petugas Statistik adalah ujung tombak BPS, penentu kualitas serta akurasi data-data yang tersaji di ruang publik. Di dalam statistik ada ungkapan, garbage in garbage out. Jika (data) sampah yang masuk, maka sampah pula yang keluar, kurung lebih seperti itu maknanya. Karena itu, jika sampah yang mereka kumpulkan, maka sampah pula hakekatnya yang tersaji di ruang publik. Tanpa dedikasi petugas statistik yang luar biasa tak akan tersaji di depan Anda data-data seperti inflasi, jumlah penduduk miskin, rasio gini, jumlah orang menganggur, produksi padi, dan nilai tukar petani. Data-data tersebut ibarat lentera untuk membangun negeri ini. Karena tanpa data sebagai dasar perumusan dan pengambilan kebijakan, mustahil membangun negeri ini dengan baik. Sungguh tanggungjawab yang tidak ringan. Bayangkan, apa jadinya jika berbagai kebijakan di kabupaten ini, yang menghabiskan milyaran uang rakyat, dieksekusi berdasarkan data-data sampah, yang melenceng jauh dari realitas sesungguhnya. Tentu sebuah dosa kepada bangsa dan negara. Namun patut diperhatikan, Anda sebagai responden (sumber data) juga amat menentukan kualitas data yang dikumpulkan oleh para petugas BPS. Pada akhirnya, dedikasi mereka yang luar biasa dan semangat mereka yang berkobar dalam mengumpulkan data tak akan berguna jika data yang  Anda berikan adalah “sampah”, apalagi jika Anda sampai menolak untuk diwawancarai. Mari bekerjasama membangun negeri ini dengan menjadi responden yang baik dan kooperatif.
Sensus Ekonomi 2016 yang datang pada tanggal 1 Mei 2016 ini juga memiliki kesulitan yang cukup besar dilapangan, karena responden yang didata adalah pengusaha atau kegiatan usaha. Sebagaimana kita tahu masih banyak pengusaha di Kabupaten Berau ini yang alergi apabila pertanyaan sudah menyangkut pendapatan dan pengeluaran. Walaupun sudah berulangkali disampaikan bahwa semua kegiatan sensus dan survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik kerahasiaannya dijamin oleh Undang-Undang nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik. Ada banyak alasan mereka untuk menghindari pertanyaan tersebut, dari yang merasa tidak tercatat dengan baik maupun yang merasa enggan rahasia perusahaannya diketahui oleh orang lain.
Sebetulnya berdasarkan Undang-Undang No.16 Tahun 1997 tentang statistik, menolak didata oleh petugas BPS tanpa alasan yang dibenarkan adalah perbuatan melawan hukum (pidana). Karena itu, BPS dapat mempidanakan responden yang menolak untuk didata tanpa alasan yang dibenarkan. Ancaman hukuman bagi responden yang menolak memberi ketarangan dalam penyelenggaraan statistik (sensus dan survei) lumayan berat, yakni kurungan maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp25.000.000,-. Meskipun kerap mendapat penolakan saat sensus dan survei, selama ini BPS tidak pernah mempidanakan responden. Sekalipun ruang untuk itu sangat terbuka, BPS lebih memilih cara-cara yang lebih persuasif lewat sosialisasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya statistik. Karena itu, mari menjadi responden yang kooperatif untuk pembangunan negeri.