Pengguna media
sosial (medsos) baru saja dibuat gelisah dengan pembatasan penggunaan oleh
pemerintah. Semua lapisan berkeluh kesah, penggemar update status banyak yang
merasa kecewa karena status yang diupload akhirnya tidak dapat dilihat oleh
teman-temannya karena adanya pembatasan. Pedagang online via media sosial
sepeti instagram dan facebook juga mengeluh karena omzet turun drastis beberapa
hari ini. Whatsapp group mendadak sepi karena konten gambar dan video sulit
untuk diupload maupun didownload. Sebuah petaka besar bagi aktivis media
sosial, ibarat hidup menjadi kering tanpa siraman konten yang biasa dilihat dan
dikomentari.
Media sosial
benar-benar telah membuka mata kita. Membuka mata untuk tahu apa yang terjadi
di luar jarak pandang kita. Kita pun tak perlu lagi mengeluarkan uang lagi
untuk membeli surat kabar dan majalah untuk melek informasi. Sekarang, saat
kita bangun tidur, kita sudah bisa membuka smartphone kita dan membaca kabar
berita di website dan halaman medsos.
Selama ini
internet telah menjadi sarana informasi yang bebas nilai, ada banyak
oknum-oknum tertentu yang justru menjadikannya sebagai alat kejahatan untuk
memprovokasi atau mengadu-domba para pengguna medsos, itu dapat ditemukan pada
aplikasi facebook, twitter, instagram dan lainnya yang menjadi primadona dalam
bertukar berita atau informasi. Pertumbuhan penetrasi smartphone dan media
sosial yang tidak diimbangi literasi digital menyebabkan berita palsu alias
hoax merajalela di Indonesia. Hal ini menimbulkan suatu polemik baru, informasi
benar dan salah menjadi campur aduk.
Ibarat dua
sisi mata pisau, begitu juga peran media, yang seringkali bisa membawa manfaat,
sekaligus membawa mudarat. Orang yang baru bermain media atau belum
berpengalaman dalam memilah mana media yang benar atau salah, akan sangat mudah
terkena virus hoax. Dia akan sering membagi informasi yang belum tentu
kebenarannya di media sosial, terutama grup Whatsapp yang diikutinya.
Hoax adalah
berita palsu atau bohong. Hoax merupakan penyelewangan berita dari konteks
aslinya untuk tujuan tertentu. Biasanya untuk meraih keuntungan dari kunjungan
orang ke situsnya. Agar terlihat menarik, pencipta berita hoax akan mencatut
sumber-sumber yang katanya valid dari pemerintah atau dari lembaga manapun,
agar mengundang kesan terpercaya.
Akibat yang
ditumbulkan berita hoax salah satunya yaitu mudah tersulutnya emosi masyarakat.
Dampak tersebut nyatanya benar-benar terjadi di masyarakat, dimana mereka
mempercayai isu-isu hoax yang tersebar sehingga menimbulkan kerugian bagi orang
lain yang dianggap sebagai objek dari isu tersebut.
Masyarakat
diharapkan cerdas menggunakan sosial media, melakukan telaah terhadap berita
atau informasi yang sedang dilihat, apakah hal tersebut bernuansa negatif atau
positif setidaknya hal itu menjadi dasar utama untuk diketahui sebelum mensharing
informasi kepada pengguna sosial media lainnya. Saat ini sudah ada UU ITE Pasal
28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik
yang berisi setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam
tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Kita takkan
kenal putih jika tak tahu apa itu hitam, bagaimana kita sebut itu terang jika
definisi gelap masih menjadi perdebatan. Hendaknya kita melakukan saring dulu
sebelum mensharing berita, lakukan validasi bahkan revalidasi sebelum jempol
kita menekan tombol share. Jangan merasa bangga menjadi nomer satu karena
menjadi yang pertama menyampaikan berita tetapi berita yang disampaikan belum
teruji kebenarannya. Pastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan
dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian
menyebarkannya. Media
massa juga hendaknya tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun
berafiliasi dengan kepentingan tertentu.
Tingkatkan
literasi media dan literasi media sosial agar kita menjadi netizen yang bijak
dan membawa kedamaian di negeri ini.