Sabtu, 25 Mei 2019

SARING SEBELUM SHARING


Pengguna media sosial (medsos) baru saja dibuat gelisah dengan pembatasan penggunaan oleh pemerintah. Semua lapisan berkeluh kesah, penggemar update status banyak yang merasa kecewa karena status yang diupload akhirnya tidak dapat dilihat oleh teman-temannya karena adanya pembatasan. Pedagang online via media sosial sepeti instagram dan facebook juga mengeluh karena omzet turun drastis beberapa hari ini. Whatsapp group mendadak sepi karena konten gambar dan video sulit untuk diupload maupun didownload. Sebuah petaka besar bagi aktivis media sosial, ibarat hidup menjadi kering tanpa siraman konten yang biasa dilihat dan dikomentari.
Media sosial benar-benar telah membuka mata kita. Membuka mata untuk tahu apa yang terjadi di luar jarak pandang kita. Kita pun tak perlu lagi mengeluarkan uang lagi untuk membeli surat kabar dan majalah untuk melek informasi. Sekarang, saat kita bangun tidur, kita sudah bisa membuka smartphone kita dan membaca kabar berita di website dan halaman medsos.
Selama ini internet telah menjadi sarana informasi yang bebas nilai, ada banyak oknum-oknum tertentu yang justru menjadikannya sebagai alat kejahatan untuk memprovokasi atau mengadu-domba para pengguna medsos, itu dapat ditemukan pada aplikasi facebook, twitter, instagram dan lainnya yang menjadi primadona dalam bertukar berita atau informasi. Pertumbuhan penetrasi smartphone dan media sosial yang tidak diimbangi literasi digital menyebabkan berita palsu alias hoax merajalela di Indonesia. Hal ini menimbulkan suatu polemik baru, informasi benar dan salah menjadi campur aduk.
Ibarat dua sisi mata pisau, begitu juga peran media, yang seringkali bisa membawa manfaat, sekaligus membawa mudarat. Orang yang baru bermain media atau belum berpengalaman dalam memilah mana media yang benar atau salah, akan sangat mudah terkena virus hoax. Dia akan sering membagi informasi yang belum tentu kebenarannya di media sosial, terutama grup Whatsapp yang diikutinya.
Hoax adalah berita palsu atau bohong. Hoax merupakan penyelewangan berita dari konteks aslinya untuk tujuan tertentu. Biasanya untuk meraih keuntungan dari kunjungan orang ke situsnya. Agar terlihat menarik, pencipta berita hoax akan mencatut sumber-sumber yang katanya valid dari pemerintah atau dari lembaga manapun, agar mengundang kesan terpercaya.
Akibat yang ditumbulkan berita hoax salah satunya yaitu mudah tersulutnya emosi masyarakat. Dampak tersebut nyatanya benar-benar terjadi di masyarakat, dimana mereka mempercayai isu-isu hoax yang tersebar sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain yang dianggap sebagai objek dari isu tersebut.
Masyarakat diharapkan cerdas menggunakan sosial media, melakukan telaah terhadap berita atau informasi yang sedang dilihat, apakah hal tersebut bernuansa negatif atau positif setidaknya hal itu menjadi dasar utama untuk diketahui sebelum mensharing informasi kepada pengguna sosial media lainnya. Saat ini sudah ada UU ITE Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik yang berisi setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Kita takkan kenal putih jika tak tahu apa itu hitam, bagaimana kita sebut itu terang jika definisi gelap masih menjadi perdebatan. Hendaknya kita melakukan saring dulu sebelum mensharing berita, lakukan validasi bahkan revalidasi sebelum jempol kita menekan tombol share. Jangan merasa bangga menjadi nomer satu karena menjadi yang pertama menyampaikan berita tetapi berita yang disampaikan belum teruji kebenarannya. Pastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian menyebarkannya. Media massa juga hendaknya tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun berafiliasi dengan kepentingan tertentu.
Tingkatkan literasi media dan literasi media sosial agar kita menjadi netizen yang bijak dan membawa kedamaian di negeri ini.