Rabu, 15 Oktober 2014

MELATI

     Melati tak pernah berdusta dengan apa yang ditampilkannya. ia tak memiliki warna di balik warna putihnya. ia juga tak pernah menyimpan warna lain untuk berbagai keadaannya, apa pun kondisinya, panas, hujan, terik, atau pun badai yang datang, ia tetap putih. ke mana pun dan di mana pun ditemukan, melati selalu putih. putih, bersih, indah berseri di taman yang asri.
Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya. pada angin ia menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu-debu itu agar ianya tetap putih berseri. karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa. ke kanan ia ikut, ke kiri ia pun ikut. namun ia tetap teguh pada pendiriannya, karena ke mana pun ia mengikuti arah angin, ia akan segera kembali pada tangkainya.
   Pada hujan ia menangis, agar tak terlihat matanya meneteskan air di antara ribuan air yang menghujani tubuhnya. agar siapa pun tak pernah melihatnya bersedih, karena saat hujan berhenti menyirami, bersamaan itu pula air dari sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes. sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang, karena hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya. bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya, untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran. karena juga, hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan asanya. tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk.
     Pada tangkai ia bersandar, agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya, menserikan alam. agar kelak, apa pun cobaan yang datang, ia dengan sabar dan suka cita merasai, bahkan menikmatinya sebagai bagian dari cinta dan kasih sang pencipta. bukankah tak ada cinta tanpa pengorbanan? adakah kasih sayang tanpa cobaan?
     Pada dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya. karena dengan hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna putih. jika daun itu tak lagi hijau, atau luruh oleh waktu, kepada siapa ia harus meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali membuatnya tak lagi putih?
     Pada bunga lain ia bersahabat. bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik, karena masing-masing memahami tugas dan peranannya. tak pernah melati iri menjadi mawar, dahlia, anggrek, atau lili, begitu juga sebaliknya. tak terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena ia tahu semua fungsinya sebagai putih.
Pada matahari ia memohon, tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan sinarnya yang menghangatkan. agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh yang telah beku oleh pekatnya malam. sinarnya yang menceriakan, bias hangatnya yang memecah kebekuan, seolah membuat melati merekah dan segar di setiap pagi. terpaan sinar mentari, memantulkan cahaya kehidupan yang penuh gairah, pertanda melati siap mengarungi hidup, setidaknya untuk satu hari ini hingga menunggu mentari esok kembali bertandang.
     Pada alam ia berbagi, menebar aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap jiwa yang bersamanya. indah menghias harum semua taman yang disinggahinya, melati tak pernah terlupakan untuk disertakan. atas nama cinta dan keridhaan pemiliknya, ia senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati baru, agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang putih. yang tetap berseri di semua suasana alam.

     
Dan pada akhirnya, pada sang pemilik alam ia meminta, agar dibimbing dan dilindungi selama ia diberikan kesempatan untuk melakoni setiap perannya. agar dalam berperan menjadi putih, tetap diteguhkan pada warna aslinya, tidak membiarkan apa pun merubah warnanya hingga masanya mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas, dan tanggungjawabnya. jika pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap sebagai melati, seputih melati. dan orang memandangnya juga seperti melati.


AKU, KAMU DAN PERSAHABATAN


Sahabat,
Tahukah kamu berapa lama masa yang kita lewati bersama
Aku tak ingin tahu
Karena engkau selamanya bagiku

Bersamamu,
Tangisku kan terurai menjadi tawa
Dukaku kan terpecah menjadi bahagia
Dan airmata yang terlanjur jatuh
Takan berubah menjadi nestapa
Denganmu,kepenatanku tergilas sirna

Terkadang di satu waktu,
Prasangka pernah menjauhkanmu dariku
Tapi sungguh sahabat
Amarah takkan bisa bertahan lama dikalbuku
Kusadari aku terikat jauh kedalam hatimu

Ingatkah sahabatku
Kita pernah duduk bersama
Melukis langit dengan impian
Tentang aku , kamu dan kehidupan

Sabtu, 11 Oktober 2014

MENGUKUR KEMISKINAN

“When you can measure what you are speaking about, and express it in numbers, you know something about it, when you cannot express it in numbers, your knowledge is of a meager and unsatisfactory kind; it may be the beginning of knowledge, but you have scarcely, in your thoughts advanced to the stage of science.” William Thompson (Lord Kelvin).
Kemiskinan adalah kebalikan atau lawan dari tujuan asasi pembangunan yang dilakukan oleh semua negara dan bangsa di dunia: kesejahteraan. Karena itu, kemiskinan telah menjadi musuh global yang harus diperangi oleh komunitas internasional termasuk kita, Indonesia. Singkat kata, kemiskinan harus dienyahkan dari muka bumi.
Genderang perang melawan kemiskinan secara global telah ditabuh oleh komunitas internasional lebih dari satu dekade yang lalu. Pada September 2000, melalui sebuah konsensus yang disebut sebagai Tujuan Pambangunan Millenium atau Millenium Development Goals (MDGs), semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mufakat untuk menempatkan pemberantasan (eradication) kemiskinan sebagai tujuan nomor satu dari tujuan pembangunan global di abad 21. Secara spesifik, tujuan ini dirumuskan sebagai upaya mengurangi jumlah penduduk miskin dunia saat itu hingga hanya tinggal setengahnya di 2015.
Di Indonesia, perang terhadap kemiskinan telah dikumandangkan secara eksplisit sejak republik ini lahir. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, para founding fathers kita secara tegas telah menyebutkan bahwa salah satu tujuan pokok dari pembangunan nasional adalah terwujudnya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan, tujuan ini hanya akan terwujud jika tak ada lagi penduduk negeri ini yang hidup dalam belenggu kemiskinan.
Untuk memenangkan pertarungan melawan kemiskinan, satu hal yang harus dilakukan adalah mendefinisikan kemiskinan tersebut secara eksplisit dan mengukurnya. Dari pengukuran kemiskinan akan diperoleh ragam statistik (data) kemiskinan yang dapat menjelaskan tentang berbagai hal, seperti siapa si miskin (profile) dan seberapa banyak jumlahnya (incidence of poverty) baik secara absolut maupun suatu persentase tertentu dari total penduduk suatu wilayah. Informasi seperti ini sangat penting bagi pemerintah/institusi untuk menentukan kebijakan yang harus diambil dan program yang harus dijalankan untuk mengeluarkan si miskin dari kubangan kemiskinan, sekaligus untuk memonitor dan mengevaluasi keberhasilan langkah-langkah yang telah ditempuh dalam upaya mereduksi jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu.
Masalah yang kemudian muncul adalah ternyata mendefinisikan dan mengukur kemiskinan tidaklah mudah. Kemiskinan ternyata tidak melalu soal dimensi ekonomi (pendapatan yang rendah), tetapi multidimensi dan kompleks. Sebagai contoh, jika setiap orang diminta melengkapi kalimat berikut, “saya miskin karena……”Akan ada puluhan, bahkan mungkin ratusan kata yang bisa digunakan untuk melengkapi kalimat tersebut. Dan pastinya, tidak semua bisa diukur secara kuantitatif dengan angka.
Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Meskipun singkat, defenisi ini menunjukkan bahwa makna kemiskinan sangat luas dan multi dimensi, serta tidak mudah untuk diukur. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang bermartabat itu? Setiap orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapat dinyatakan secara kuantitatif, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Definisi kemiskinan yang lebih sederhana dikemukan oleh Bank Dunia (2000), yakni “Poverty is pronounced deprivation in well-being.” Jika diterjemahkan secara bebas, kemiskinan didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai kondisi serba kekurangan yang mengakibatkan seseorang tak mampu mencapai derajat hidup layak (well-being).
Meskipun defenisi ini lebih sederhana, tetap saja menyisikan kerumitan dalam pengukuran kemiskinan. Seperti halnya kemiskinan, hidup layak atau sejahtera (well-being) adalah presentasi dari banyak hal: seberapa besar penghasilan yang diterima seseorang dalam sebulan, apa dan seberapa banyak yang dimakan dalam sehari, pakaian apa yang dikenakan sehari-hari, di mana seseorang bertempat tinggal, apakah bersekolah jika termasuk penduduk usia sekolah, apakah pergi ke dokter kala sakit, dan masih banyak lagi. Amartya Sen (1987) menyebutkan, “Well-being comes from a capability to function in society. Thus, poverty arises when people lack key capabilities, and so have inadequate income or education, or poor health, or insecurity, or low self confidence, or a sense of powerlessness, or the absence of rights such as freedom of speech.”
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengukur itu semua? Bagaimana menentukan sebuah indikator hidup layak yang mudah untuk diukur di satu sisi, serta cukup memuaskan dalam menjelaskan kompleksitas kondisi hidup layak di sisi yang lain? Para ahli pengukuran kemiskinan (poverty measurement) telah lama berdiskusi sekaligus berdebat panjang terkait hal ini. Dan pilihan mereka akhirnya jatuh pada pendapatan (income) atau pengeluaran (consumption/expenditure) sebagai indikator hidup layak.
Pilihan menggunakan pendapatan atau pengeluaran sebagai indikator hidup layak tentu saja telah mereduksi dimensi kemiskinan yang maha luas hanya pada dimensi ekonomi atau moneter (uang) saja. Tetapi, meskipun pendapatan atau pengeluaran kurang memuaskan (poor) dalam menjelaskan semua dimensi dari kemiskinan—yang hendak diukur—kedua indikator ini cukup baik (useful) sebagai indikator hidup layak. Alasannya sederhana, rumah tangga atau individu yang memiliki pendapatan atau pengeluaran yang tinggi bakal menikmati lebih banyak barang dan jasa dengan variasi yang juga lebih beragam ketimbang rumah tangga dengan pendapatan atau pengeluaran yang lebih rendah, yang memiliki keterbatasan dalam mengakses barang dan jasa. Dan yang lebih penting lagi, pendapatan atau pengeluaran lebih mudah untuk diukur dan dikumpulkan datanya.
Dalam prakteknya, penggunaan pendapatan sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara maju (rich countries). Ini disebabkan di negara maju pendapatan lebih mudah diukur ketimbang pengeluaran karena sebagian besar pendapatan rumah tangga atau penduduk berasal dari upah dan gaji. Sebaliknya, penggunaan pengeluaran sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara berkembang (developed countries) termasuk Indonesia dan negara-negara miskin (less developed countries). Ini disebabkan sebagian besar pendapatan rumah tangga atau penduduk di negara-negara miskin dan berkembang berasal dari sektor informal dan self employment sehingga relatif lebih sulit diukur dibanding pengeluaran.
Setelah indikator hidup layak ditetapkan (pendapatan atau pengeluaran), tahap selanjutnya adalah menentukan sebuah standar minimum yang harus dipenuhi oleh setiap rumah tangga atau individu agar dapat hidup layak. Standar ini berupa keranjang komoditi (basket commodities) yang terdiri dari barang dan jasa kebutuhan dasar sehari-hari (basic needs) yang dinyatakan dalam suatu nilai nominal tertentu. Dalam prakteknya, standar minimum ini ditentukan dengan menggunakan suatu metode statistik. Selanjutnya rumah tangga atau penduduk yang tidak mampu memenuhi standar minimum tersebut disebut “miskin”.
Standar minimum inilah sebetulnya yang disebut dengan garis kemiskinan (poverty line) itu. Suatu ambang batas (threshold) yang memisahkan rumah tangga atau penduduk miskin (poor) dan tidak miskin (non poor).
Dari apa yang dipaparkan diatas penulis berharap agar penghitungan kemiskinan di Kabupaten Berau yang kita cintai ini dapat dilakukan dengan konsep dan definisi yang seragam, sehingga data yang dihasilkan merupakan data yang berkualitas dan mendapat pengakuan semua pihak.


Jumat, 19 September 2014

HARI STATISTIK NASIONAL

Hasil sensus penduduk yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda di tahun 1930 menunjukkan, jumlah penduduk Hindia kala itu (sekarang Indonesia) mencapai 60,7 juta jiwa. Delapan dekade kemudian, yakni di tahun 2010, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah tersebut telah melejit menjadi 237,6 juta jiwa. Sungguh laju pertumbuhan penduduk yang begitu cepat !
Kilas data kependudukan di atas tidak hanya berkisah tentang perkembangan jumlah penduduk negeri ini selama windu dasa warsa, tetapi juga perjalanan panjang kegiatan perstatistikan negeri ini. Ternyata, kegiatan statistik resmi (official statistics) telah berlangsung jauh sebelum negeri ini menemukan bentuknya sebagai suatu negara merdeka bernama Indonesia.
Sejarah kegiatan statistik di Indonesia bermula ketika pada tahun 1920 didirikan sebuah kantor statistik di Bogor oleh Direktur Pertanian dan Perdagangan (Director van Landbouw Nijverheid en Hendel). Pada tahun 1924, lembaga ini kemudian berganti nama menjadi Kantor Pusat Statistik (Centraal Kantoor voor de Statistik) dan dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Setelah melewati proses sejarah yang panjang, sejak 1 Juni 1957, Kantor Pusat Statistik kemudian diubah menjadi Biro Pusat Statistik (BPS) dengan Keputusan Presiden RI Nomor 131 tahun 1957.
Di tahun 1961, sensus penduduk kembali dilakukan untuk memenuhi anjuran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar setiap negara melakukan sensus penduduk secara serentak. Inilah sensus kali pertama yang dilakukan setelah Indonesia merdeka. Setahun sebelumnya, yakni pada tanggal 24 September 1960, payung hukum pelaksanaan sensus tersebut diundangkan melalui Undang-undang Nomor 6 tahun 1960 tentang sensus.
Dua hari kemudian, yakni tanggal 26 September, payung hukum terkait penyelenggaraan statistik secara luas dan menyeluruh (tidak hanya sensus) diundangkan. Maka, lahirlah Undang-undang Nomor 7 tahun 1960 tentang statistik yang boleh dikata merupakan tonggak awal dan pijakan hukum mula-mula penyelenggaraan statistik selepas Indonesia merdeka. Undang-undang ini kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 1997 tentang statistik. Bersamaan dengan itu pula, BPS yang semula Biro Pusat Statistik kemudian berganti nama menjadi Badan Pusat Statistik seperti sekarang.
Di tahun 1996, Kepala BPS saat itu, Sugito merasa perlu adanya semacam hari statistik nasional sebagai momentum untuk memupuk kesadaran masyarakat tentang statistik. Maka, pada tanggal 28 Juni 1996 kala menghadap Presiden Soeharto untuk melaporkan berbagai kegiatan statistik yang telah dilakukan BPS, Sugito juga meminta petunjuk beliau terkait penetapan Hari Statistik.
Selanjutnya, dalam upaya mewujudkan adanya Hari Statistik Nasional, sebagai tindaklanjut pertemuan dengan Presiden Soeharto, pada tanggal 22 Juli 1996, Sugito mengirim surat ke Menteri Sekertaris Negara Republik Indonesia memohon persetujuan agar tanggal 26 September ditetapkan sebagai Hari Statistik Nasional. Pemilihan tanggal             26 September sebagai Hari Statistik nasional dilatarbelakangi proses sejarah seperti yang tertulis di atas, hari ini dianggap paling signifikan dalam mewarnai sejarah panjang kegiatan statistik di Indonesia dengan lahirnya Undang-undung Nomor 7 tahun 1960 tentang statistik.
Alhamdulillah. Upaya untuk mewujudkan Hari Statistik Nasional menuai hasil. Tanggal 26 September akhirnya disetujui sebagai Hari Statistik Nasional dengan keluarnya surat nomor B.259/M.Sesneg/1996 pada tanggal 12 Agustus 1996. Tanggal 26 September selanjutnya setiap tahun diperingati sebagai Hari Statistik nasional sejak tahun 1996.
Filosofi di balik lahirnya Hari Statistik nasional adalah terwujudnya masyarakat yang sadar statistik. Kata “sadar” mengandung makna, masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang statistik, juga tahu kegunaan dan pentingnya statistik tersebut.
Tak hanya memiliki pengetahuan yang cukup mengenai statistik tetapi juga mengerti kegunaan dan peran pentingnya. Dengan begitu, kegiatan statistik yang melibatkan berbagai elemen masyarakat seperti statistisi (penghasil data), responden (sumber data), dan pengguna (konsumen data) dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Sebuah tantangan yang tentunya tidak mudah, ditengah kian menipisnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap berbagai statistik resmi yang dihasilkan pemerintah.
Selamat Hari Statistik.

Selasa, 04 Februari 2014

Statistik Untuk Semua

STATISTIK UNTUK SEMUA

Saat kita menyebut nama “statistik” maka yang terbayang di benak kita adalah deretan angka dan rumus yang menurut kebanyakan orang sangat rumit. Belum lagi adanya anggapan bahwa statistik adalah bidang yang “kering” dan “memusingkan”. Akan tetapi di dalam penentuan arah kebijakan pembangunan dan dibanyak bidang lain statistik adalah suatu hal yang sangat mendasar dalam pengambilan keputusan.
Statistik sendiri memiliki dua arti, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, statistik merupakan data ringkasan berbentuk angka, seperti jumlah, rerata (mean), persentase, dan berbagai nilai koefisien sperti koefisien variasi, koefisien korelasi, koefisien determinasi dan koefisien regresi. Sedangkan dalam arti luas, statistik merupakan ilmu yang mempelajari cara mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan menganalisa data, termasuk cara mengambil kesimpulan dengan memperhitungkan unsur ketidakpastian berdasarkan konsep probabilitas.
Hal yang perlu disebutkan disini adalah bahwa metode pengumpulan data secara statistik sangat efesien, maksudnya bisa menghemat tenaga, waktu dan biaya, serta bisa diperoleh dengan tingkat keteitian yang tinggi, yang ditandai dengan “margin error” yang kecil.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Anderson dan Bancrof dalam bukunya Statistical Theory and Research yaitu : “ Statistics is the science and art of development and aplications of the most effective methods of collecting, tabulating, and interpreting quantitative data in such a manner that the fallibility of conclusions and estimates may be assessed by means of inductive reasoning based on the mathematics of probability.” (Statistik adalah ilmu dan seni pengembangan metode yang paling efektif dalam mengumpulkan, menabelkan, dan menginterprestasi data kuantitatif dalam suatu pola sehingga kemungkinan kesalahan dalam kesimpulan dan estimasi dapat diperkirakan dengan penalaran induktif berdasarkan matematika probabilitas)
Pada dasarnya semua pejabat pemerintahan di Kabupaten Berau,baik itu Bupati, Kepala SKPD, Camat dan Lurah memerlukan data statistik. Sebagai contoh disetiap tahunnya Badan Pusat Statistik Kabupaten Berau menerbitkan publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Berau dimana didalam publikasi tersebut dirinci sektor mana yang memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan “kue pembangunan”. Jika ada penurunan PDRB seorang Bupati dapat bertanya kepada kepala SKPD yang bersangkutan mengapa sumbangan sektornya terhadap PDRB menurun. Misalnya sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB menurun. Ini merupakan masalah bagi SKPD yang menangani masalah pertanian. Untuk mencari penyebabnya kita harus melakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh signifikan secara statistik. Faktor-faktor inilah yang harus dilaporkan kepada pimpinan atau Bupati yang harus memecahkan masalah. Tidak mungkin seseorang pimpinan termasuk Bupati bisa memecahkan masalah jika tidak mengetahui faktor-faktor penyebab timbulnya masalah.
Data statistik juga sangat diperlukan oleh anggota DPRD bergantung pada komisi dimana anggota DPRD tersebut bergabung. Komisi Pendidikan, komisi hukum dan komisi lainnya membutuhkan data statistik yang berbeda. Data yang diperlukan berkaitan dengan kinerja pemerintah. DPRD mengajukan berbagai pertanyaan kepada pemerintah melalui rapat kerja yang diselenggarakan secara rutin. Dapat kita bayangkan apabila anggota DPRD tidak mengetahui dan menguasai data statistik yang menjadi bidangnya, akan sangat sulit memberikan pertanyaan untuk mengukur kinerja pemerintah karena anggota DPRD tersebut tidak mempunyai data.
Para penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim juga sangat memerlukan data statistik untuk memecahkan masalah. Misalnya jumlah perkara dan sisa perkara yang ada di kepolisian, kejaksaan dan kehakiman perlu diketahui. Perkara dapat kita kelompokan berdasarkan kriteria tertentu. Dengan demikian secara statistik bisa dihitung rata-rata lamanya waktu penyelesaian perkara berdasarkan kriteria perkara tersebut.

Jadi, data bukan sekedar untuk mengetahui, tetapi harus digunakan untuk membuat keputusan dalam upaya memecahkan masalah. Data itu mahal, apalagi bila diperoleh melalui riset dengan melakukan pengujian hipotesis sehingga sayang sekali kalau hanya untuk sekedar mengetahui (just for knowing). Ada pendapat yang mengatakan bahwa data itu memang mahal, akan tetapi lebih mahal lagi jika suatu perencanaan tanpa dilandasi data. Tentu saja data yang digunakan dalam perencanaan tersebut adalah data yang akurat dan up to date.
CALEG DAN ALGAKA

Sejatinya para calon legislatif (caleg) adalah orang-orang yang mampu memberikan teladan politik di hadapan publik. Mereka termasuk di antara sekian gelintir orang dari jutaan anggota masyarakat yang mendapatkan kesempatan sekaligus kehormatan untuk duduk di lembaga yang terhormat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika mereka berhasil memasuki lembaga termasuk, mereka boleh dikatakan sebagai "orang-orang pilihan".
Para caleg seharusnya sudah sangat memahami akan berbagai macam bentuk perundang-undangan dan peraturan karena dalam kegiatan pekerjaan mereka nantinya tidak akan pernah terlepas dengan berbagai masalah dan bentuk perundang-undangan dan peraturan. Akan tetapi jika kita lihat dari segi pemasangan alat peraga kampanye yang saat ini banyak terpasang baik itu berupa spanduk, baliho maupun poster nampak sekali masih banyak caleg yang justru belum memahami UU No. 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun peraturan KPU No. 13 tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan KPU No. 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Saat ini banyak kita lihat pelanggaran alat peraga kampanye baik dari parpol maupun dari calon legislatif, seperti pemasangan bendera yang dekat dengan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM), pemasangan poster di pohon-pohon perindang jalan, pemasangan baliho caleg, sampai dengan jumlah spanduk caleg yang terpasang per desa/kelurahan yang tidak sesuai dengan aturan.
Kampanye sejatinya menjadi ajang bagi caleg untuk memaparkan visi dan misinya. Semakin realistis misinya, semakin berkualitas pula keseriusan caleg tersebut. Semakin berisi visi, semakin besar pula harapan masyarakat terhadap caleg tersebut.Tapi itu sama sekali tidak terlihat. Sebaliknya kampanye justru menjadi ajang tebar pesona. Kualitas, kesiapan hingga kemampuan para caleg bukan lagi diukur dari wawasan atau visi dan misi yang akan diperjuangkan. Ukuran baliho yang terpajang di tepi jalan terkadang menjadi tolok ukur untuk melihat sejauh mana keseriusan caleg tersebut ingin memperjuangkan daerahnya di parlemen nanti.
Kasus di atas tentu dapat mengundang sejumlah pertanyaan bagi kita semua, apakah para caleg tersebut benar-benar memahami etika politik sebelum mereka memutuskan terjun ke dunia politik? Ataukah memang tujuan mereka berpolitik sebenarnya hanyalah untuk mencari keuntungan semata, terutama yang bersifat material, tanpa memperdulikan nilai-nilai etis dari politik? Apakah kredo the end justifies the means ala Machiavelli yang kesohor itu telah menjadi spirit dari perilaku politik mereka?
Namun yang perlu disadari sepenuhnya oleh para elite parpol adalah bahwa moralitas dalam politik sesungguhnya sangat menentukan legitimasi etis para caleg dalam kehidupan politik mereka. Komitmen terhadap hal tersebut merupakan conditio sine qua non jika mereka benar-benar menginginkan kekuasaan yang dipegang dan dipergunakannya itu mendapatkan legitimasi etis. Sebab tanpa legitimasi etis, pertanggungjawaban yang akan diberikan kepada publik menjadi tidak bermakna.
Memang impian menjadi legislator dan wakil rakyat di parlemen harus dilalui dengan berbagai perjuangan. Perjuangan untuk memperjuangkan suara masyarakat pun harus didahului dengan upaya berjuang merebut hati masyarakat. Tapi apakah untuk merebut hati masyarakat harus dilakukan dengan cara-cara yang sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri ?

ALAM TAK LAGI BERNYANYI



Suram langit dipagi ini
Seakan menyambut rapuhnya alam
Akan gemericik air yang tak lagi terdengar
Hanya hembusan angin kering mengabarkan
Tentang alam yang tak lagi bernyanyi
Tentang nurani yang tak lagi peduli
Terkikis oleh gemerlap dunia
Menghamba pada harta yang fana
Hingga alam pun menjadi mangsa

Alamku tak lagi bernyanyi
Kicau burung pun seakan terhenti
Terganti oleh deru mesin merusak hati
Merusak alam merusak pertiwi
Alamku, kami disini bernyanyi
Tentang syair lagu rusaknya bumi
Semoga mereka mau mengerti