MENGUKUR KEMISKINAN
“When you can measure
what you are speaking about, and express it in numbers, you know something
about it, when you cannot express it in numbers, your knowledge is of a meager
and unsatisfactory kind; it may be the beginning of knowledge, but you have scarcely,
in your thoughts advanced to the stage of science.” William Thompson (Lord
Kelvin).
Kemiskinan
adalah kebalikan atau lawan dari tujuan asasi pembangunan yang dilakukan oleh
semua negara dan bangsa di dunia: kesejahteraan. Karena itu, kemiskinan telah
menjadi musuh global yang harus diperangi oleh komunitas internasional termasuk
kita, Indonesia. Singkat kata, kemiskinan harus dienyahkan dari muka bumi.
Genderang
perang melawan kemiskinan secara global telah ditabuh oleh komunitas
internasional lebih dari satu dekade yang lalu. Pada September 2000, melalui
sebuah konsensus yang disebut sebagai Tujuan Pambangunan Millenium atau Millenium
Development Goals (MDGs), semua negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) telah mufakat untuk menempatkan pemberantasan (eradication)
kemiskinan sebagai tujuan nomor satu dari tujuan pembangunan global di abad 21.
Secara spesifik, tujuan ini dirumuskan sebagai upaya mengurangi jumlah penduduk
miskin dunia saat itu hingga hanya tinggal setengahnya di 2015.
Di Indonesia,
perang terhadap kemiskinan telah dikumandangkan secara eksplisit sejak republik
ini lahir. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945, para founding fathers kita secara tegas telah
menyebutkan bahwa salah satu tujuan pokok dari pembangunan nasional adalah
terwujudnya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan, tujuan ini
hanya akan terwujud jika tak ada lagi penduduk negeri ini yang hidup dalam
belenggu kemiskinan.
Untuk
memenangkan pertarungan melawan kemiskinan, satu hal yang harus dilakukan
adalah mendefinisikan kemiskinan tersebut secara eksplisit dan mengukurnya.
Dari pengukuran kemiskinan akan diperoleh ragam statistik (data) kemiskinan
yang dapat menjelaskan tentang berbagai hal, seperti siapa si miskin (profile)
dan seberapa banyak jumlahnya (incidence of poverty) baik secara absolut
maupun suatu persentase tertentu dari total penduduk suatu wilayah. Informasi
seperti ini sangat penting bagi pemerintah/institusi untuk menentukan kebijakan
yang harus diambil dan program yang harus dijalankan untuk mengeluarkan si
miskin dari kubangan kemiskinan, sekaligus untuk memonitor dan mengevaluasi
keberhasilan langkah-langkah yang telah ditempuh dalam upaya mereduksi jumlah
penduduk miskin dari waktu ke waktu.
Masalah yang
kemudian muncul adalah ternyata mendefinisikan dan mengukur kemiskinan tidaklah
mudah. Kemiskinan ternyata tidak melalu soal dimensi ekonomi (pendapatan yang
rendah), tetapi multidimensi dan kompleks. Sebagai contoh, jika setiap
orang diminta melengkapi kalimat berikut, “saya miskin karena……”Akan ada
puluhan, bahkan mungkin ratusan kata yang bisa digunakan untuk melengkapi
kalimat tersebut. Dan pastinya, tidak semua bisa diukur secara kuantitatif
dengan angka.
Secara umum,
kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang
tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Meskipun singkat, defenisi ini menunjukkan bahwa
makna kemiskinan sangat luas dan multi dimensi, serta tidak mudah untuk diukur.
Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang bermartabat itu? Setiap
orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat
mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapat dinyatakan
secara kuantitatif, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak
kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Definisi
kemiskinan yang lebih sederhana dikemukan oleh Bank Dunia (2000), yakni “Poverty
is pronounced deprivation in well-being.” Jika diterjemahkan secara bebas,
kemiskinan didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai kondisi serba kekurangan yang
mengakibatkan seseorang tak mampu mencapai derajat hidup layak (well-being).
Meskipun
defenisi ini lebih sederhana, tetap saja menyisikan kerumitan dalam pengukuran
kemiskinan. Seperti halnya kemiskinan, hidup layak atau sejahtera (well-being)
adalah presentasi dari banyak hal: seberapa besar penghasilan yang diterima
seseorang dalam sebulan, apa dan seberapa banyak yang dimakan dalam sehari,
pakaian apa yang dikenakan sehari-hari, di mana seseorang bertempat tinggal,
apakah bersekolah jika termasuk penduduk usia sekolah, apakah pergi ke dokter
kala sakit, dan masih banyak lagi. Amartya Sen (1987) menyebutkan, “Well-being
comes from a capability to function in society. Thus, poverty arises when
people lack key capabilities, and so have inadequate income or education, or
poor health, or insecurity, or low self confidence, or a sense of
powerlessness, or the absence of rights such as freedom of speech.”
Pertanyaannya
kemudian, bagaimana mengukur itu semua? Bagaimana menentukan sebuah indikator
hidup layak yang mudah untuk diukur di satu sisi, serta cukup
memuaskan dalam menjelaskan kompleksitas kondisi hidup layak di sisi yang lain?
Para ahli pengukuran kemiskinan (poverty measurement) telah lama
berdiskusi sekaligus berdebat panjang terkait hal ini. Dan pilihan mereka
akhirnya jatuh pada pendapatan (income) atau pengeluaran (consumption/expenditure)
sebagai indikator hidup layak.
Pilihan
menggunakan pendapatan atau pengeluaran sebagai indikator hidup layak tentu
saja telah mereduksi dimensi kemiskinan yang maha luas hanya pada dimensi
ekonomi atau moneter (uang) saja. Tetapi, meskipun pendapatan atau pengeluaran
kurang memuaskan (poor) dalam menjelaskan semua dimensi dari
kemiskinan—yang hendak diukur—kedua indikator ini cukup baik (useful)
sebagai indikator hidup layak. Alasannya sederhana, rumah tangga atau individu
yang memiliki pendapatan atau pengeluaran yang tinggi bakal menikmati lebih
banyak barang dan jasa dengan variasi yang juga lebih beragam ketimbang rumah
tangga dengan pendapatan atau pengeluaran yang lebih rendah, yang memiliki
keterbatasan dalam mengakses barang dan jasa. Dan yang lebih penting lagi,
pendapatan atau pengeluaran lebih mudah untuk diukur dan dikumpulkan datanya.
Dalam
prakteknya, penggunaan pendapatan sebagai indikator hidup layak dijumpai di
negara-negara maju (rich countries). Ini disebabkan di negara maju
pendapatan lebih mudah diukur ketimbang pengeluaran karena sebagian besar
pendapatan rumah tangga atau penduduk berasal dari upah dan gaji. Sebaliknya,
penggunaan pengeluaran sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara
berkembang (developed countries) termasuk Indonesia dan negara-negara
miskin (less developed countries). Ini disebabkan sebagian besar
pendapatan rumah tangga atau penduduk di negara-negara miskin dan berkembang
berasal dari sektor informal dan self employment sehingga
relatif lebih sulit diukur dibanding pengeluaran.
Setelah
indikator hidup layak ditetapkan (pendapatan atau pengeluaran), tahap
selanjutnya adalah menentukan sebuah standar minimum yang harus dipenuhi oleh
setiap rumah tangga atau individu agar dapat hidup layak. Standar ini berupa
keranjang komoditi (basket commodities) yang terdiri dari barang dan
jasa kebutuhan dasar sehari-hari (basic needs) yang dinyatakan dalam
suatu nilai nominal tertentu. Dalam prakteknya, standar minimum ini ditentukan
dengan menggunakan suatu metode statistik. Selanjutnya rumah tangga atau
penduduk yang tidak mampu memenuhi standar minimum tersebut disebut “miskin”.
Standar minimum
inilah sebetulnya yang disebut dengan garis kemiskinan (poverty line) itu.
Suatu ambang batas (threshold) yang memisahkan rumah tangga atau
penduduk miskin (poor) dan tidak miskin (non poor).
Dari apa yang
dipaparkan diatas penulis berharap agar penghitungan kemiskinan di Kabupaten
Berau yang kita cintai ini dapat dilakukan dengan konsep dan definisi yang
seragam, sehingga data yang dihasilkan merupakan data yang berkualitas dan
mendapat pengakuan semua pihak.