Sabtu, 11 Oktober 2014

MENGUKUR KEMISKINAN

“When you can measure what you are speaking about, and express it in numbers, you know something about it, when you cannot express it in numbers, your knowledge is of a meager and unsatisfactory kind; it may be the beginning of knowledge, but you have scarcely, in your thoughts advanced to the stage of science.” William Thompson (Lord Kelvin).
Kemiskinan adalah kebalikan atau lawan dari tujuan asasi pembangunan yang dilakukan oleh semua negara dan bangsa di dunia: kesejahteraan. Karena itu, kemiskinan telah menjadi musuh global yang harus diperangi oleh komunitas internasional termasuk kita, Indonesia. Singkat kata, kemiskinan harus dienyahkan dari muka bumi.
Genderang perang melawan kemiskinan secara global telah ditabuh oleh komunitas internasional lebih dari satu dekade yang lalu. Pada September 2000, melalui sebuah konsensus yang disebut sebagai Tujuan Pambangunan Millenium atau Millenium Development Goals (MDGs), semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mufakat untuk menempatkan pemberantasan (eradication) kemiskinan sebagai tujuan nomor satu dari tujuan pembangunan global di abad 21. Secara spesifik, tujuan ini dirumuskan sebagai upaya mengurangi jumlah penduduk miskin dunia saat itu hingga hanya tinggal setengahnya di 2015.
Di Indonesia, perang terhadap kemiskinan telah dikumandangkan secara eksplisit sejak republik ini lahir. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, para founding fathers kita secara tegas telah menyebutkan bahwa salah satu tujuan pokok dari pembangunan nasional adalah terwujudnya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan, tujuan ini hanya akan terwujud jika tak ada lagi penduduk negeri ini yang hidup dalam belenggu kemiskinan.
Untuk memenangkan pertarungan melawan kemiskinan, satu hal yang harus dilakukan adalah mendefinisikan kemiskinan tersebut secara eksplisit dan mengukurnya. Dari pengukuran kemiskinan akan diperoleh ragam statistik (data) kemiskinan yang dapat menjelaskan tentang berbagai hal, seperti siapa si miskin (profile) dan seberapa banyak jumlahnya (incidence of poverty) baik secara absolut maupun suatu persentase tertentu dari total penduduk suatu wilayah. Informasi seperti ini sangat penting bagi pemerintah/institusi untuk menentukan kebijakan yang harus diambil dan program yang harus dijalankan untuk mengeluarkan si miskin dari kubangan kemiskinan, sekaligus untuk memonitor dan mengevaluasi keberhasilan langkah-langkah yang telah ditempuh dalam upaya mereduksi jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu.
Masalah yang kemudian muncul adalah ternyata mendefinisikan dan mengukur kemiskinan tidaklah mudah. Kemiskinan ternyata tidak melalu soal dimensi ekonomi (pendapatan yang rendah), tetapi multidimensi dan kompleks. Sebagai contoh, jika setiap orang diminta melengkapi kalimat berikut, “saya miskin karena……”Akan ada puluhan, bahkan mungkin ratusan kata yang bisa digunakan untuk melengkapi kalimat tersebut. Dan pastinya, tidak semua bisa diukur secara kuantitatif dengan angka.
Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Meskipun singkat, defenisi ini menunjukkan bahwa makna kemiskinan sangat luas dan multi dimensi, serta tidak mudah untuk diukur. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang bermartabat itu? Setiap orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapat dinyatakan secara kuantitatif, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Definisi kemiskinan yang lebih sederhana dikemukan oleh Bank Dunia (2000), yakni “Poverty is pronounced deprivation in well-being.” Jika diterjemahkan secara bebas, kemiskinan didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai kondisi serba kekurangan yang mengakibatkan seseorang tak mampu mencapai derajat hidup layak (well-being).
Meskipun defenisi ini lebih sederhana, tetap saja menyisikan kerumitan dalam pengukuran kemiskinan. Seperti halnya kemiskinan, hidup layak atau sejahtera (well-being) adalah presentasi dari banyak hal: seberapa besar penghasilan yang diterima seseorang dalam sebulan, apa dan seberapa banyak yang dimakan dalam sehari, pakaian apa yang dikenakan sehari-hari, di mana seseorang bertempat tinggal, apakah bersekolah jika termasuk penduduk usia sekolah, apakah pergi ke dokter kala sakit, dan masih banyak lagi. Amartya Sen (1987) menyebutkan, “Well-being comes from a capability to function in society. Thus, poverty arises when people lack key capabilities, and so have inadequate income or education, or poor health, or insecurity, or low self confidence, or a sense of powerlessness, or the absence of rights such as freedom of speech.”
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengukur itu semua? Bagaimana menentukan sebuah indikator hidup layak yang mudah untuk diukur di satu sisi, serta cukup memuaskan dalam menjelaskan kompleksitas kondisi hidup layak di sisi yang lain? Para ahli pengukuran kemiskinan (poverty measurement) telah lama berdiskusi sekaligus berdebat panjang terkait hal ini. Dan pilihan mereka akhirnya jatuh pada pendapatan (income) atau pengeluaran (consumption/expenditure) sebagai indikator hidup layak.
Pilihan menggunakan pendapatan atau pengeluaran sebagai indikator hidup layak tentu saja telah mereduksi dimensi kemiskinan yang maha luas hanya pada dimensi ekonomi atau moneter (uang) saja. Tetapi, meskipun pendapatan atau pengeluaran kurang memuaskan (poor) dalam menjelaskan semua dimensi dari kemiskinan—yang hendak diukur—kedua indikator ini cukup baik (useful) sebagai indikator hidup layak. Alasannya sederhana, rumah tangga atau individu yang memiliki pendapatan atau pengeluaran yang tinggi bakal menikmati lebih banyak barang dan jasa dengan variasi yang juga lebih beragam ketimbang rumah tangga dengan pendapatan atau pengeluaran yang lebih rendah, yang memiliki keterbatasan dalam mengakses barang dan jasa. Dan yang lebih penting lagi, pendapatan atau pengeluaran lebih mudah untuk diukur dan dikumpulkan datanya.
Dalam prakteknya, penggunaan pendapatan sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara maju (rich countries). Ini disebabkan di negara maju pendapatan lebih mudah diukur ketimbang pengeluaran karena sebagian besar pendapatan rumah tangga atau penduduk berasal dari upah dan gaji. Sebaliknya, penggunaan pengeluaran sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara berkembang (developed countries) termasuk Indonesia dan negara-negara miskin (less developed countries). Ini disebabkan sebagian besar pendapatan rumah tangga atau penduduk di negara-negara miskin dan berkembang berasal dari sektor informal dan self employment sehingga relatif lebih sulit diukur dibanding pengeluaran.
Setelah indikator hidup layak ditetapkan (pendapatan atau pengeluaran), tahap selanjutnya adalah menentukan sebuah standar minimum yang harus dipenuhi oleh setiap rumah tangga atau individu agar dapat hidup layak. Standar ini berupa keranjang komoditi (basket commodities) yang terdiri dari barang dan jasa kebutuhan dasar sehari-hari (basic needs) yang dinyatakan dalam suatu nilai nominal tertentu. Dalam prakteknya, standar minimum ini ditentukan dengan menggunakan suatu metode statistik. Selanjutnya rumah tangga atau penduduk yang tidak mampu memenuhi standar minimum tersebut disebut “miskin”.
Standar minimum inilah sebetulnya yang disebut dengan garis kemiskinan (poverty line) itu. Suatu ambang batas (threshold) yang memisahkan rumah tangga atau penduduk miskin (poor) dan tidak miskin (non poor).
Dari apa yang dipaparkan diatas penulis berharap agar penghitungan kemiskinan di Kabupaten Berau yang kita cintai ini dapat dilakukan dengan konsep dan definisi yang seragam, sehingga data yang dihasilkan merupakan data yang berkualitas dan mendapat pengakuan semua pihak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar