Selasa, 04 Februari 2014

CALEG DAN ALGAKA

Sejatinya para calon legislatif (caleg) adalah orang-orang yang mampu memberikan teladan politik di hadapan publik. Mereka termasuk di antara sekian gelintir orang dari jutaan anggota masyarakat yang mendapatkan kesempatan sekaligus kehormatan untuk duduk di lembaga yang terhormat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika mereka berhasil memasuki lembaga termasuk, mereka boleh dikatakan sebagai "orang-orang pilihan".
Para caleg seharusnya sudah sangat memahami akan berbagai macam bentuk perundang-undangan dan peraturan karena dalam kegiatan pekerjaan mereka nantinya tidak akan pernah terlepas dengan berbagai masalah dan bentuk perundang-undangan dan peraturan. Akan tetapi jika kita lihat dari segi pemasangan alat peraga kampanye yang saat ini banyak terpasang baik itu berupa spanduk, baliho maupun poster nampak sekali masih banyak caleg yang justru belum memahami UU No. 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun peraturan KPU No. 13 tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan KPU No. 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Saat ini banyak kita lihat pelanggaran alat peraga kampanye baik dari parpol maupun dari calon legislatif, seperti pemasangan bendera yang dekat dengan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM), pemasangan poster di pohon-pohon perindang jalan, pemasangan baliho caleg, sampai dengan jumlah spanduk caleg yang terpasang per desa/kelurahan yang tidak sesuai dengan aturan.
Kampanye sejatinya menjadi ajang bagi caleg untuk memaparkan visi dan misinya. Semakin realistis misinya, semakin berkualitas pula keseriusan caleg tersebut. Semakin berisi visi, semakin besar pula harapan masyarakat terhadap caleg tersebut.Tapi itu sama sekali tidak terlihat. Sebaliknya kampanye justru menjadi ajang tebar pesona. Kualitas, kesiapan hingga kemampuan para caleg bukan lagi diukur dari wawasan atau visi dan misi yang akan diperjuangkan. Ukuran baliho yang terpajang di tepi jalan terkadang menjadi tolok ukur untuk melihat sejauh mana keseriusan caleg tersebut ingin memperjuangkan daerahnya di parlemen nanti.
Kasus di atas tentu dapat mengundang sejumlah pertanyaan bagi kita semua, apakah para caleg tersebut benar-benar memahami etika politik sebelum mereka memutuskan terjun ke dunia politik? Ataukah memang tujuan mereka berpolitik sebenarnya hanyalah untuk mencari keuntungan semata, terutama yang bersifat material, tanpa memperdulikan nilai-nilai etis dari politik? Apakah kredo the end justifies the means ala Machiavelli yang kesohor itu telah menjadi spirit dari perilaku politik mereka?
Namun yang perlu disadari sepenuhnya oleh para elite parpol adalah bahwa moralitas dalam politik sesungguhnya sangat menentukan legitimasi etis para caleg dalam kehidupan politik mereka. Komitmen terhadap hal tersebut merupakan conditio sine qua non jika mereka benar-benar menginginkan kekuasaan yang dipegang dan dipergunakannya itu mendapatkan legitimasi etis. Sebab tanpa legitimasi etis, pertanggungjawaban yang akan diberikan kepada publik menjadi tidak bermakna.
Memang impian menjadi legislator dan wakil rakyat di parlemen harus dilalui dengan berbagai perjuangan. Perjuangan untuk memperjuangkan suara masyarakat pun harus didahului dengan upaya berjuang merebut hati masyarakat. Tapi apakah untuk merebut hati masyarakat harus dilakukan dengan cara-cara yang sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar