CALEG DAN ALGAKA
Sejatinya
para calon legislatif (caleg) adalah orang-orang yang mampu memberikan teladan
politik di hadapan publik. Mereka termasuk di antara sekian gelintir orang dari
jutaan anggota masyarakat yang mendapatkan kesempatan sekaligus kehormatan
untuk duduk di lembaga yang terhormat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika
mereka berhasil memasuki lembaga termasuk, mereka boleh dikatakan sebagai
"orang-orang pilihan".
Para
caleg seharusnya sudah sangat memahami akan berbagai macam bentuk
perundang-undangan dan peraturan karena dalam kegiatan pekerjaan mereka
nantinya tidak akan pernah terlepas dengan berbagai masalah dan bentuk
perundang-undangan dan peraturan. Akan tetapi jika kita lihat dari segi
pemasangan alat peraga kampanye yang saat ini banyak terpasang baik itu berupa
spanduk, baliho maupun poster nampak sekali masih banyak caleg yang justru
belum memahami UU No. 8 tahun 2012 tentang pemilihan
umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah maupun peraturan KPU No. 13 tahun 2013 tentang
perubahan atas peraturan KPU No. 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Saat ini banyak kita lihat pelanggaran
alat peraga kampanye baik dari parpol maupun dari calon legislatif, seperti pemasangan
bendera yang dekat dengan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM), pemasangan
poster di pohon-pohon perindang jalan, pemasangan baliho caleg, sampai dengan jumlah
spanduk caleg yang terpasang per desa/kelurahan yang tidak sesuai dengan aturan.
Kampanye sejatinya menjadi ajang bagi
caleg untuk memaparkan visi dan misinya. Semakin realistis misinya, semakin
berkualitas pula keseriusan caleg tersebut. Semakin berisi visi, semakin besar
pula harapan masyarakat terhadap caleg tersebut.Tapi itu sama sekali tidak
terlihat. Sebaliknya kampanye justru menjadi ajang tebar pesona. Kualitas,
kesiapan hingga kemampuan para caleg bukan lagi diukur dari wawasan atau visi
dan misi yang akan diperjuangkan. Ukuran baliho yang terpajang di tepi jalan
terkadang menjadi tolok ukur untuk melihat sejauh mana keseriusan caleg
tersebut ingin memperjuangkan daerahnya di parlemen nanti.
Kasus di
atas tentu dapat mengundang sejumlah pertanyaan bagi kita semua, apakah para
caleg tersebut benar-benar memahami etika politik sebelum mereka memutuskan
terjun ke dunia politik? Ataukah memang tujuan mereka berpolitik sebenarnya
hanyalah untuk mencari keuntungan semata, terutama yang bersifat material,
tanpa memperdulikan nilai-nilai etis dari politik? Apakah kredo the end justifies the means ala Machiavelli yang kesohor itu
telah menjadi spirit dari perilaku politik mereka?
Namun
yang perlu disadari sepenuhnya oleh para elite parpol adalah bahwa moralitas
dalam politik sesungguhnya sangat menentukan legitimasi etis para caleg dalam
kehidupan politik mereka. Komitmen terhadap hal tersebut merupakan conditio
sine qua non jika mereka benar-benar menginginkan kekuasaan yang dipegang dan
dipergunakannya itu mendapatkan legitimasi etis. Sebab tanpa legitimasi etis,
pertanggungjawaban yang akan diberikan kepada publik menjadi tidak bermakna.
Memang
impian menjadi legislator dan wakil rakyat di parlemen harus dilalui dengan
berbagai perjuangan. Perjuangan untuk memperjuangkan suara masyarakat pun harus
didahului dengan upaya berjuang merebut hati masyarakat. Tapi apakah untuk
merebut hati masyarakat harus dilakukan dengan cara-cara yang sebenarnya
melawan hati nuraninya sendiri ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar