Jumat, 29 Mei 2015

POLITIK BERISIK BERAS PLASTIK

Cemas, bingung, dan khawatir, itu yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia ketika berita tentang beras yang mengandung plastik merebak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa sebagian besar rakyat Indonesia menjadikan beras atau nasi sebagai bahan pangan pokok mereka. Hal ini dirasakan oleh penulis sendiri yang merasa belum makan jika belum makan nasi. Terasa ada yang kurang walaupun perut sudah merasa kenyang jika belum makan nasi yang berasal dari beras.
Kisruh beras plastik saat ini telah menarik perhatian seluruh masyarakat di negeri ini. Spektrum isu beras plastik ini telah menjadi komoditas politik yang dapat mengakibatkan goncangan bagi pemerintah. Hal ini dapat menimbulkan anggapan peredaran beras plastik menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap perdagangan beras. Kemunculan kisruh dan pendapat seperti itu dapat dimaklumi karena beras merupakan bahan pangan utama bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Saat ini beragam analisis bermunculan terkait dengan isu peredaran beras plastik ini. Ditengah kelesuan ekonomi Republik ini muncul  berbagai macam dampak negatif akibat adanya peredaran beras plastik. Hampir setiap hari dapat kita lihat baik itu dimedia elektronik maupun dimedia cetak berita tentang beras plastik. Obrolan di warung kopi dipenuhi oleh berita ini, analisis ala penikmat kopi ikut meramaikannya.
Penulis sendiri sebenarnya kebingungan dengan berita yang merebak dengan sangat dahsyat ini, ada beberapa hal yang perlu kita cermati dalam kisruh beras plastik ini :
Pertama, plastik yang merupakan turunan hidrokarbon adalah hidrofobik atau tidak suka air, karena bahan dasanya adalah minyak bumi dan struktur kimianya nonpolar. Ini berarti jika benar memang ada beras yang terbuat dari plastik maka walaupun direbus hingga pembalap indonesia ada yang menjadi juara dunia motoGP, tidak akan menjadi lembek atau menjadi bubur. Beras bisa menjadi bubur karena menyerap air. Sedangkan plastik tidak menyerap air.
Kedua, harga plastik perkilogram jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga beras, sehingga jika ada yang berpendapat bahwa campuran plastik didalam beras untuk menambah keuntungan adalah suatu hal yang salah besar. Terkecuali jika memang ada pedagang yang menghamburkan uangnya mencampur plastik kedalam beras untuk membuat goyah stabilitas perdagangan, bukan untuk mencari keuntungan.

Ketiga, hingga saat ini terjadi perbedaan pendapat antar laboratorium penguji beras plastik. Yang seharusnya jika diambil dari sampel yang sama maka tidak akan ada perbedaan yang sangat mendasar dari pengujian laboratorium tersebut. Kita bisa melakukan pengujian sederhana dengan melakukan uji amilum memakai larutan yodium. Amilum akan memberi warna ungu jika ditetesi dengan yodium. Apabila beras yang kita tetesi dengan yodium tidak memberi warna ungu berarti beras tersebut bukan beras asli.
Terlepas dari heboh pemberitaan beras platik diatas penulis mengambil sisi positif dari pemberitaan tersebut melalui kacamata penulis selaku seorang statistisi. Berbicara mengenai beras, tentu tidak terlepas dari keberadaan petani yang telah berjasa menghasilkan padi dari hasil kerja kerasnya. Data produksi padi Indonesia tahun 2010-2014 yang dirilis Badan Pusat Statistik memperlihatkan adanya trend yang relatif stabil. Kalaupun terdapat pertumbuhan, persentasenya kurang dari 10 persen. Bahkan trend 2013-2014, terdapat penurunan sebesar minus 0,63 persen.
Sejalan dengan trend produksi padi yang relatif stabil, kesejahteraan petani yang digambarkan melalui angka Nilai Tukar Petani (NTP) juga tidak banyak mengalami perubahan. NTP merupakan nilai yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Nilai tukar petani menggambarkan tingkat daya tukar atau daya beli petani terhadap produk yang dibeli atau dibayar petani yang mencakup konsumsi dan input produksi yang dibeli. Semakin tinggi nilai tukar petani, semakin baik daya beli petani terhadap produk konsumsi dan input produksi tersebut, dan berarti secara relatif lebih sejahtera.
Dilihat dari sudut pandang antara besaran NTP dengan harga beras dipasaran maka keberadaan beras plastik justru menguntungkan petani karena konsumen akan memangkas mata rantai perdagangan beras dengan cara membeli beras langsung dari petani. Ada dua sisi keuntungan dari langkah ini. Pertama dari sisi petani, ia akan mendapat harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan menjualnya ke tengkulak, sedangkan bagi konsumen, merasa lebih aman jika membeli langsung karena kecil kemungkinan petani memproduksi beras plastik.
Ditengah semangat pemerintah kita yang ingin mewujudkan swasembada pangan di negeri ini, penulis menilai berita ini justru akan menguntungkan bagi petani. Tapi kebalikannya bagi importir beras. Mungkin sudah saatnya petani kita memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sehingga petani yang sejahtera dapat terwujud dan swasembada pangan dapat kita raih.
Sepertinya berita-berita heboh di masyarakat akan tetap terjadi kedepannya. Entah apalagi selanjutnya setelah isu beras plastik ini. Bisa jadi ini adalah strategi politik berisik yang  kemungkinan masih merupakan efek dari pemilu tahun 2014 lalu. Begitu mencengangkan dan mengherankan sebenarnya fenomena-fenomena ini. Tinggal kita sebagai masyarakat, rakyat dan warga negara yang harus bersikap tenang menghadapinya. Jangan mudah terpancing isu-isu yang belum tentu benar apalagi yang tidak benar. Kita harus tetap tenang, gunakan akal sehat dan cari informasi pembanding dari instansi pemerintah yang resmi ataupun media yang kredibel dan bertanggungjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar