Mendengar kata menulis bagi beberapa orang mungkin sama
menakutkannya ketika harus berhadapan dengan pelajaran matematika atau mata
kuliah statistika. Kegiatan menulis bagi sebagian besar orang mampu membuat
menambah kerutan di wajah. Tapi hal ini akan sangat berbeda dengan oran-orang
yang memiliki kemampuan untuk menulis dan keinginan untuk membagi ilmunya. Satu
hal yang mungkin harus menjadi pedoman bagi penulis bahwa kita menulis bukan
apa yang ingin orang baca tetapi apa yang harus dibaca oleh orang. Hal ini
menjadi suatu idealisme tersendiri dalam penulisan.
Dalam Islam menulis merupakan suatu kewajiban setelah
perintah untuk membaca (belajar, meneliti dan menelaah). Menulis berarti
menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses oleh
siapa saja. Dalam perkembangannya, menulis memiliki peran yang sangat penting
dalam sejarah kejayaan umat Islam beberapa abad silam.
Semua ulama yang menjadi arsitek kejayaan Islam masa lalu
adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka
yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai
disiplin keilmuan. Sebagai contoh kitab Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, Ibnu
Sina dibidang kedokteran menghasilkan karya monumental Al-Qanun Fi Ath-Thibb,
Asy-Syifa dan yang lainnya. Bahkan, Eropa yang kemajuannya hari ini telah jauh
meninggalkan dunia Islam ternyata pernah mengekor pada kemajuan umat Islam masa
silam.
Sebagaimana sudah dijelaskan diatas, bahwa menulis dalam
Islam adalah “kewajiban” kedua setelah perintah untuk “membaca”. Menulis
berarti menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses
oleh siapa saja. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Dengan tulisan, kita bisa berdakwah (menyebarkan kebenaran), mengajari,
menyebarkan ide dan pemikiran, melontarkan gagasan, menyampaikan kritikan atau
hanya sekedar memberi tanggapan. Sebaliknya, dengan tulisan seseorang bisa juga
menyebarkan kebatilan, merusak moral, memprovokasi, menghina, menghasut,
memfitnah, dan berbagai propaganda yang akan membawa kepada kehancuran lainnya.
Melalui tulisan diyakini peradaban impian akan bisa diraih. Melalui tulisan
fakta mengatakan sebuah kemajuan akan bisa dicapai. Melalui tulisan jelas
kebenaran akan mudah tersampaikan.
Perlu menjadi pertanyaan tersendiri sebenarnya ketika ada
seseorang yang menyandang gelar S1, S2 maupun S3 yang bila kita amati tidak
pernah memberikan kontribusi kepada masayarakat berupa tulisan ataupun jurnal
ilmiah. Sebenarnya menjadi keharusan tersendiri ketika kita menyandang gelar
yang berderet didepan dan belakang nama kita maka kita memiliki kewajiban
mengamalkan ilmu yang kita miliki, dan salah satunya adalah dengan menulis.
Saat ada
yang meyandang gelar doktor misalnya tetapi kita tidak pernah menemukan satupun
jurnal ilmiah yang ditulisnya wajar apabila kita meragukan kualitas gelar
doktor yang disandangnya. Begitu pula para mahasiswa yang telah menyelesaikan
gelar Sarjananya sering kita temukan mereka kebingungan apabila dihadapkan
dengan karya ilmiah. Indikasi seperti ini sebenarnya jelas sejauh mana
kelayakan dari gelar yang mereka sandang.
Penulis tidak bermaksud menghakimi ketidakmampuan seseorang
dalam menghasilkan sebuah tulisan tetapi tidak lebih untuk mengajak kepada
semua teman-teman yang menyandang gelar keilmuan baik didepan maupun dibelakang
nama mereka untuk berbagi ilmunya melalui tulisan. Kita semua ingin generasi
penerus kita menjadi generasi penerus yang cerdas, jujur dan berakhlak baik.
Generasi yang memegang teguh keilmuan yang mereka miliki bukan generasi yang
menganggap bahwa ilmu dapat dibeli tanpa harus susah payah belajar.
ketika kita ”malas menulis” yang akan terjadi adalah berbagai
ketimpangan dan bahkan penjajahan. Mari kita semua berbagi kepada sesama, harta
bisa saja habis apabila dibelanjakan tetapi ilmu akan semakin bertambah bila
kita bagikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar